Rabu, 02 Juli 2008

Kronika

Anasir Jahat dalam Kesenian

oleh M Arpan Rachman

BAGAIMANA karya seni jadi alasan yang masuk akal? Sulitkah teater dilogikakan?

Teater tanpa Manajemen

AP Bayu menulis artikel berjudul Membaca Teater Hari Ini di harian lokal dalam grup Jawa Pos News Network (18/5/2008). Dipinjamnya mulut tokoh Atmadi untuk menyatakan pikiran tentang tiga persoalan.

Pertama, katanya, “Teater tanpa manajemen dia akan seperti kuda pusing di dalam pasar malam”. Jadi, grup teater idealnya toleran dengan orientasi bisnis dan massal melalui pengetahuan ekonomi-sosial secara luas. Ilmu itu tentunya mudah diterapkan oleh spesialis yang berkompeten.

Di satu sisi, manajemen seni pertunjukan hari ini di Tanah Air lihatlah tetap mengusung semangat gotong-royong kebersamaan mirip lima belas tahun silam. Ada misalnya para pengharap dana pariwisata, tapi banyak pula yang tidak. Ada yang berhubungan erat dengan penguasa dan pihak asing, namun ada juga yang tidak.

Pameran lukisan, diskusi novel, dan pementasan teater merupakan seni pertunjukan yang dikelola baik. Pelukis, novelis, dan para dramawan gigih melawan siasat, aksi, dan intrik di luar produksi karya dari para penggelap sejarah, penjahat asal-usul, bandit seni yang mengoncer ponjen dana kesenian dalam mata pasal APBD/APBN, dan kolaborator penguasa yang bermain di taring hegemoni pusat-pusat Balai Bahasa.

Pameran lukis, diskusi novel, pentas teater jadi pertunjukan rendah hati yang menjaga pelbagai kota dan provinsi lokal dari kesombongan “budaya tinggi” yang sok pintar. Arogansi budaya sempalan itu berpotensi mengelirukan logika dengan cara mengantarkan teori-anti-teori kepada khalayak, lewat misalnya sebuah artikel di koran.

Sementara itu, stok keuntungan finansial dan penikmat baru di dunia teater hari ini mungkin masih saja dimayoritasi oleh siswa, pelajar, mahasiswa, selebihnya kalangan tanpa juntrungan identitas. Penonton jenis “sekolahan” bahkan ada yang diduga muncul lantaran “dipaksa” guru untuk mengerjakan “tugas” kesenian. Sedangkan pendatang baru, karcis, dan sponsor barangkali terus merupakan tiga anasir jahat dalam teater modern di Indonesia.

Teater Berhadapan Film dan Sepakbola

KEDUA dan ketiga – kata Bayu – teater saat ini berhadapan dengan film-film Amerika, India, Hongkong, plus sinetron di televisi, tari perut, triping..., juga sepakbola. Dilogikakan “berhadapan”, maka bukan saat ini saja, melainkan teater sejak dulu kala berhadapan dengan film domestik/asing, olahraga, dan lain-lain.

Tapi penonton teater, film, sepakbola masing-masing sangat mungkin berbeda orangnya. Bijakkah dan elokkah kiranya bila kita memperhadapkan teater-film-sepakbola dengan cara menyimpan kesan bahwa film, sepakbola, dan lain-lain itu merupakan “kompetitor mumpuni” bagi teater?

Sementara kaca besar dari fenomena konsumerisme memantulkan wajah chaos dalam jagad karya seni di masyarakat kita hari ini. Tenggelamnya Titanic jadi sejarah, sedangkan film cinta yang merendengi insiden karamnya kapal itu adalah sejarah lain. Maka, jangankan memperhadapkan karya-karya di bidang sosial-ekonomi berbeda yang dipertunjukkan dengan cara yang tak sama. Karya sama yang dimodifikasi lalu diunjukkan dengan cara berbeda pun menghadapi dilema. Mana yang lebih unggul? Atau lebih baik dan benar?

Novel Ayat-ayat Cinta apa sebanding antara buku dengan filmnya? Apa ada fakta keterkaitan antara enterpreneur Adrie Subono (keponakan BJ Habibie) saat hendak mendatangkan rapper Eminem dengan dilarangnya Denada Tambunan menyanyikan lagu hip-hop oleh Habibie saat jadi Presiden?

Pernahkah Anda membaca trilogi JRR Tolkien tentang perjalanan jauh empat hobbit asal Shire untuk melemparkan cincin kutukan ke gunung api? Secara pribadi, menurut hemat saya, buku terjemahannya bertele-tele, melulu berkisah tentang perjalanan setengah tamasya separuh petualangan, dipermainkan tempo menyenangkan-mencekam yang silih-berganti penuh suspensi. Namun tiga film sekuel the Lord of the Ring yang kolosal mengudak-aduk emosi dan kocek penonton bioskop dan DVD bajakan.

***

SENI pertunjukan yang banyak massanya, menguntungkan secara ekonomis, dan bahkan politik, diselenggarakan oleh event organizer zaman Romawi. Mereka mengundang penonton datang ke Koloseum. Anak-anak, remaja, perempuan, ibu-ibu, dan orang tua menonton riuh-ribut dan melupakan sejenak persoalan hidup mereka. Di tempat lain, para lelaki kuat, kecuali para budak gladiator, saat itu bertempur di negeri-negeri yang jauh lantaran watak agresif Imperium Roma menjajah dunia.

Di tribun Koloseum, sekeping memori – tentang ayah yang gugur di medan perang, kekasih yang dijemput maut di Anatolia, lelaki yang pergi tak jua pulang dari Turki, kaum suami yang tak tentu rimbanya di Asia Kecil, dan remaja yang kehilangan orang tua – sesaat terhapuskan, tatkala roti-roti dilemparkan dari podium ke segala arah penonton yang berperut lapar.

Hingga detik ini, suka atau tidak, seni pertunjukan ala Romawi telah menghiasi hidup sebagian orang kita. Seni pengekornya kemudian jadi hilang pesona. Apa menariknya kesenian yang diproyekkan penguasa?

Kekuasaan selalu memproyeksikan kebudayaan. Yang menolak arogansi tersebut, terpaksa menerima nasib buruk, tak pernah dibagi proyek. Tapi, mungkin tak apa-apa, sebab yang melawannya masih banyak berderet ke belakang. Deret itu pasti beralih posisi sejajar, berpindah tempat, merebut senjata kekuasaan dengan revolusi.

Yang patut diusut nanti, adalah para pengelompok definisi. Mereka termasuk yang mengatakan bahwa teater, film, dan sepakbola tak lebih seperti “para pengamuk” yang harus bertempur satu sama lain demi enaknya nafsu berkuasa. Mereka pikir, seninya terjadi saat gladiator bertanding dan roti dilemparkan. Mereka juga berpikir, kita tak lebih dari serabut otak dan keringat yang hanya mencari makanan dan mainan. Salah seorang dari yang bernafsu itu pernah menulis logika irrasional di koran grup JPNN beberapa waktu lalu.*

6 komentar:

wardah mengatakan...

sippp sippp sippp ...
but i need more time to learn deeply, coz i have no basic on teater (poor, dear ..... :(

Unknown mengatakan...

Terima kasih, Anda pengunjung pertama, Nyimas. Dari namanya, Anda orang Palembang asli ya?

wardah mengatakan...

Ada apa dengan Palembang or Not Palembang ??
being Nyimas or others :) .. ??

Arpanrachman mengatakan...

Cuma mengidentifikasi saja, Nyi. Saya tidak ada maksud lain, kok? Lam kenal.

wardah mengatakan...

Lho? saya gak suudzon lho :)
ok .. sekedar salam kenal ...
be success ..

Unknown mengatakan...

Drink Sunrise, Nyi. Hope you enjoy in your day. Sori, agak lama mbalesnya.