Kamis, 10 Juli 2008

Utik

Resensi Buku

Ya Salam..., Almustafa

oleh M Arpan Rachman

Judul: Almustafa

Penulis: Kahlil Gibran

Diterjemahkan dari The Prophet

Alfred Knopf, Inc., New York, 1923

Cetakan Pertama Edisi Hardcover, Februari 2008

Penerjemah: Sapardi Djoko Damono

Penerbit: Bentang

viii+124 halaman; 15 cm

ISBN 978-979-1227-21-6

Aku adalah pencari keheningan, dan harta apakah yang kudapat dari keheningan itu sehingga dengan yakin aku bisa membagi-bagikannya? (halaman 5)

Dia lelaki asing: perantau yang terdampar dari sebuah kapal. Lantaran keluasan wawasannya yang seperti lautan, Almustafa dianggap orang suci oleh seluruh penduduk kota Orphalese.

Walau awalnya lelaki itu dipandang sebelah mata, kecuali oleh seorang peramal bernama Almitra yang menganggapnya sebagai utusan Tuhan. Sejak itu pula ia dihormati seperti aulia tanpa dosa.

Tapi yang diingini seluruh perantau, juga Almustafa, adalah kembali ke rumah dan pulang kampung. Tatkala rasa rindu mencekamnya supaya berangkat pergi dari kota itu, penduduk menahannya untuk berkhotbah.

Khutbahnya panjang-lebar, nyaris tentang segala hal: cinta, perkawinan, anak-anak, sedekah, makan dan minum, kerja, suka dan duka, rumah, pakaian, jual-beli, kejahatan dan hukuman, kemerdekaan, akal dan nafsu, kepedihan, kesadaran diri, pengajaran, persahabatan, ihwal bicara, makna waktu, baik dan jahat, doa, kepuasan, keindahan, agama, dan maut.

Jika semua yang kukatakan adalah kebenaran, kebenaran itu sendiri akan mengungkapkan dirinya dengan suara yang lebih jelas, dan dengan kata-kata yang lebih dekat dengan pikiranmu (halaman 107).

Selamat tinggal penduduk Orphalese, batinnya.

***

BUKAN kebetulan jika Sapardi Djoko Damono, sastrawan terkenal Indonesia, ahli sastra Jawa, yang menerjemahkan karya Kahlil Gibran. Bahasa Jawa, yang dikuasai secara ahli oleh Damono, juga memuat banyak tingkat “eufe-mistik” (eufemisme separuh mistik) layaknya bahasa Arab. Kehalusan tersirat perpaduan nuansa Jawa-Arab tersanding baik dalam kisah Almustafa.

Meski Gibran pertama kali dulu menulis karyanya ini dengan bahasa Inggris. Namun aksentuasi Arabisme, tanah moyangnya, lekat bersemayam dalam ubun-ubun penyair Lebanon yang hijrah ke Amerika. Wawasan “author’s authority” (kekuasaan pengarang) itulah yang muncul di pelbagai karyanya tanpa ada satupun yang terkecuali.

Sekadar komentar, menyitir ungkapan penerjemah,

“Terjemahan ini bisa saja dianggap sebagai komentar terhadap sejumlah terjemahan yang sudah beredar, namun sekaligus dan lebih dari itu saya mengharapkannya mampu menampung pengungkapan yang, meskipun populer, memiliki kekuatan yang memaksa kita untuk mempertimbangkan kembali berbagai konvensi sosial dan moral yang selama ini kita ciptakan untuk kita yakini.”

Kahlil Gibran ciptakan mimpi. Kita tidur nyenyak. Zzz....

Tidak ada komentar: