Kamis, 18 September 2008

Kritik

Budaya Bertuah

(Tanggapan atas JRK)

PALING tidak tiga kesimpulan, saya tangkap, dari membaca artikel Jajang R Kawentar (selanjutnya: JRK) berjudul Syamsu Indra Usman dalam Konstelasi Budaya Empat Lawang (Sumeks, 7/9/2008). Secara acak pola kalimatnya banyak yang buruk, premisnya tanpa dasar, argumennya penuh curiga. Di sana-sini, ketiga simpul itu, bahkan cenderung saling mematahkan antara satu sama lain. Baiklah, kini diuraikan sebagian isi artikel yang jadi fokus apa sebenarnya kehendak JRK melakukan pembodohan intelektual terhadap publik pembaca rubrik Horison di Harian Sumeks kita ini.

Pada notasi kesatu dalam paragraf pertama, tepatnya kalimat awal artikelnya, tertulis “…orang ramai-ramai meninggalkan kebudayaan daerahnya dan mengagung-agungkan kebudayaan baru yang hampir tidak memiliki kepribadian…”. Tapi tak sepucuk kalimat pun hingga ke ujung tulisannya, JRK menjelaskan kepada pembaca siapa “orang ramai” yang dia katakan? Apakah mereka adalah orang-orang Lintang selain Syamsu (maka, kalau begitu mungkin termasuk juga, misalnya, saya dan Alex Noerdin)? Sementara Syamsu sendiri jadi tokoh yang diangkat sebagai obyek tulisan JRK. Namun benarkah Syamsu penggagas utama (berarti orang pertama yang punya ide) pembentukan Kabupaten Empat Lawang?

Lalu, siapa saja “orang ramai” yang dimintai jawabnya oleh JRK? Representatifkah jawaban sampelnya mewakili urusan antara “orang ramai-ramai” dengan “kebudayaan daerah” dan “kebudayaan baru”, sehingga kata “meninggalkan” serta “mengagung-agungkan” pantas dihubungkan sebagai paradoks? Atau jangan-jangan dia hanya menduga-duga sebuah alasan menggelikan lewat klaim yang penuh curiga tentang situasi sekitar yang sekadar dia cerna (bukan cermati) secara sambil lalu….

Di notasi yang sama itu pula, JRK langsung mengajak pembaca untuk berpihak kepada penulis (yaitu JRK sendiri) dengan memasang kata ganti orang pertama jamak “kita” (yang harfiahnya berarti “aku dan kau”). Pemasangan itu tampaknya dilakukan untuk menegaskan bahwa konteksnya telah disepakati “kita” itu. “Kita” di situ jadi sebuah trik halus untuk memasukkan paham kepada pembaca tentang suatu dalili yang tidak terbantahkan. Bagaimana kalau kita tidak bersepakat dengan JRK? Tentu saja seperti yang saya lakukan adalah penolakan, maka akan muncul setidaknya tiga pertanyaan.

Muncul persoalan di benak ini: siapakah intelektual atau lembaga ilmiah manakah yang memberi data kepada JRK? Sampai dia berani menyatakan “…Bangsa kita termasuk di Sumatra Selatan ini, sudah merasa malu kalau mengetengahkan kebudayaan daerahnya,… bahasa daerahnya… Hampir tidak ada lagi yang menyukai kesenian daerahnya, bahasa daerahnya, apalagi mempelajarinya…”

Saya ingin sekali mengajak JRK meluaskan wawasan. Dalam suatu perbincangan dengan Drs B Trisman M.Hum saat saya menyambangi di ruang kerjanya, Kepala Balai Bahasa Sumsel itu memberi komentar yang tenang atas kekhawatiran tentang ancaman kepunahan bahasa daerah. Bang Tris menyatakan sejauh penelitian lembaganya, di Sumsel belum ditemukan bahaya krusial yang berpotensi memusnahkan bahasa daerah.

Merujuk komentar tersebut, maka validasi data dalam premis JRK perlu diragukan demi kebenaran dan atas nama ilmu pengetahuan. Walaupun dalam proses klarifikasi nanti, JRK bolehlah kita seret ke depan sidang di Balai Bahasa, tetapi saya tidak akan menyarankan hal itu lantaran meski ditengarai melakukan kekeliruan, dia belum cukup bijak disebut telah berbuat kejahatan yang fatal.

Melihat keterbatasannya, JRK hanya perlu diberitahu bahwa “…kita di sini di Sumsel tidak bingung memilah-milih yang mana sesungguhnya kebudayaan milik kita…” seperti yang ungkapkan sebaliknya. Kebudayaan yang ada, apalagi telah mengakar, masih diterima luas oleh suku-sukubangsa yang menghidupkan kejayaan Sriwijaya, Kerajaan Islam, Kesultanan Palembang Darussalam, dan Sumsel kini.

Membantah demagogi JRK, dari dulu kala Sumsel bukan merupakan daerah transit berbagai suku bangsa, melainkan tujuan bagi orang-orang yang hendak belajar, berniaga, mencari minyak, dan memimpikan kehidupan yang lebih baik sejak para perantau asal Yunan sampai transmigran dari daerah lain di Nusantara. Konseukensi sebagai kawasan terbuka yang diketahui berlimpah kekayaan itulah, membuat Sumsel dikenal kental dengan nuansa percampuran budaya.

Mungkin JRK belum pernah melihat bila seorang pendatang singgah ke suatu tempat di Sumsel, tuan rumah akan menyuguhi sekapur sirih sebagai tanda bahwa orang itu memasuki kawasan budaya yang baik berdasarkan tuturkata maupun perilaku yang amat terjunjung tinggi, baik bagi si tuan rumah ataupun kepada si pendatang. Itulah salah satu contoh matra sosial yang diabadikan turun-temurun dari generasi-bergenerasi di negeri ini sebagai sebuah tuah kebudayaan. Barangkali JRK juga luput mengingat bahwa orang Sumsel masih banyak yang suka makan pakai tangan sambil duduk bersila, walau ada saja yang mungkin lupa memulai dengan baca bismillah.

Sedangkan notasi kedua dalam paragraf pertama, JRK menulis “…kebudayaan global atau budaya baru keluar dari sistem budaya yang berkepribadian Nusantara karena mengumbar berbagai gaya hidup dan prduk yang ditawarkan melalui barang-barang, mulai dari barang kelontongan, kosmetik, hingga kebutuhan hidup sebagai produk hiburan…”.

Ada tendens yang mengesankan konsep kebudayaan inklusif sedang disebarkan JRK. Padahal ranah budaya di mana pun tak pernah lepas dari pengaruh unsur-unsur luarnya seperti halnya kebudayaan Nusantara dipengaruhi unsur-unsur asing seperti Arab, India, dan tiongkok Cina. JRK lupa dengan pendapat sederhana bahwa “selama ada kultur, di sana ada kemungkinan akulturasi” sebab budaya bukan eksklusivisme yang berada dalam sebuah ruang kaca steril seperti kotak pandora.

Dulu, pada mulanya, kebudayaan pun ditawarkan melalui pertukaran barang-barang dalam perdagangan antarsaudagar di pelbagai belahan dunia. Sementara produk berupa barang-barang kelontongan dan kosmetik, mungkin saja sudah dipakai sejak manusia purba pergi meninggalkan goa, lalu beralih jadi komunitas yang selanjutnya mengandalkan cara bercocok tanam dalam kehidupan mereka.

Alasan JRK, secara rata-rata air, bernuansa irrasional. Premisnya banyak berupa “hasil sesat-pikir” (meminjam ungkapan Tarech Rasyid) dan mencerminkan hemisfer yang kacau dalam otak orang yang dengan ceroboh kemudian menuliskannya entah dengan maksud tersembunyi jenis apa.

Saya tidak punya lagi pertanyaan untuk JRK. Yang ingin saya tanyakan: Mengapa Syamsu Indra Usman mau ditulis sebagai obyek dengan cara seperti itu? Semoga kita jadi manusia yang jauh dari kelaliman dalam bulan suci Ramadhan ini.*

Batukarang, 11908

Jumat, 01 Agustus 2008

Esai

E-mail Putu dari Singapura

dan Teater di Sungai Musi

tengadah kepalaku melihat langit

teringat bulan dan rumah tua

– Li Bai

TANGGAL 19 April 2008, pukul 16.49 WIB.

Di halaman depan tangga Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, Jalan SMB II, Kelurahan 16 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I, tepian Sungai Musi, Palembang. Peserta 14 orang (9 perempuan dan 5 laki-laki) dipimpin kak Teguh dan koordinator latihan, Metty. Latihan Teater Gaung (dalam resume mengarang bebas ini) mengetengahkan kronologi berikut:

Peserta membentuk formasi tapal kuda (arena) setengah lingkaran dan melakukan meditasi dengan mata terpejam sambil bersikap duduk bersila. Dalam kontrol meditasi, kak Teguh mengarahkan peserta dengan imajinasi mengenai situasi sekitar. Tentang perahu-perahu jukung yang lalu-lalang di sungai, bocah-bocah bermain bola di plaza Benteng Kuto Besak, dan keriuhan para remaja bercengkrama dengan temannya menghabiskan sore sambil menikmati indahnya pemandangan.

Beberapa peserta yang keliru bersikap dalam meditasi mengalami “kesemutan” (keram). Para peserta kemudian rileks sejenak dan santai. Situasi yang reda, ketegangan mereka mencair.

Berikutnya, peserta diinstruksikan mengobservasi dan mengitari halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dengan berlari-lari. Setelah itu, mereka berdiri membentuk lingkaran meregangkan otot, dan mulai memasuki peran sebagai pemain.

Selanjutnya, latihan tertunda karena kak Teguh permisi sebentar mengobrol dengan temannya. Sementara koordinator latihan Metty tampaknya kurang memiliki inisiatif untuk mengarahkan peserta berikutnya mau latihan apa.

Lalu, bergantian peserta memainkan peran. Dimulai oleh Arya Kusuma Dewi, mengungkapkan perasaannya. Perasaan itu tentang cintanya kepada Toni. Ia berdesah seksi, “Oh, Toni. Tonikum....”

Toni duduk tak jauh dari sana. Budak Sekojo yang ganteng itu tersenyum simpul.

***

SEBULAN yang lalu, seorang mahasiswi bahasa melakukan penelitian naskah Dor karya Putu Wijaya. Ia menitip pertanyaan melalui kotak alamat surat elektronik saya punya (alasan mahasiswi itu: tidak tahu email-meng-email). Tapi percayakah Anda?

Sastrawan terkemuka Indonesia langsung membalas antusias. Bukti balasan itu langsung dari tangan sang sastrawan, bukan tulisan asisten atau sekretarisnya, Putu Wijaya memberi hadiah artikel gratis kepada saya.

Singkatnya, pengarang dengan ciri khas bertopi golf putih, memberitahu sedang apa dia saat itu, di mana, dan melakukan apa. Tapi ada kejutan besar, sungguh, lantaran tak disangka Putu memberi kesan sepertinya dia sudah mengenal nama saya jauh sebelum saya memperkenalkan diri! Betapa tidak, pertama saya mengirim SMS, memperkenalkan nama “Arpan Rachman”. Kedua, di email juga saya sebut begitu adanya: “Mas Putu, saya Arpan Rachman....”

Jawabannya kemudian diawali sepatah nama, M. Arpan...

Padahal nama depan yang tersembunyi sebagai akronim “M” itu saya tidak perkenalkan kepada dia! Saya jadi besar kepala selama seminggu, dilanda gejala demam psikotropik-histeris-euforia panas-dingin. Kegembiraan luar biasa menikam kalbu karena idola masa kecil membalas surat.

Dari mana dia tahu soal “M” saya? Tapi jangan-jangan Putu salah-ketik saja. Lantaran dia harus menulis cepat-cepat kemudian cepat-cepat pula pergi ke warnet di dekat hotel. Menghabiskan 1 dollar Sin untuk 20 menit browsing. Sehari suntuk itu, katanya, dia baru selesai mengajar mahasiswi Nanyang University.

Di surat kedua, saya bertanya apakah Putu pernah dekat dengan kekuasaan di masa lalu? Demi menuntaskan penasaran saja dari timpaan gosip bahwa Putu dulu mengarang cerpen dari mesin tik koperasi militer yang nganggur di atas meja seperti yang kemudian diceritakannya dalam artikel di sebuah majalah remaja 20 tahun silam.

Ia menjawab tidak pernah.

***

TEATER Gaung barangkali hari ini satu-satunya grup publik di Palembang yang hidup di luar tembok steril kampus dan rumah dinas. Setelah lama vakum, latihan digojlokkan lagi kepada generasi baru. Pelatih senior Amir Hamzah Arga, Vebri al Lintani, Erfan Fajrullah, dan Teguh Ireng bergantian menggodok para pemain muda. Tapi seperti kata Darto Marello – salah seorang pendirinya – “banyak juga yang sekadar mampir kemudian pergi dari sini”.

Mungkinkah Putu Wijaya mau mampir membagi ilmunya ke dekat Pasar 16 Ilir di tepi Sungai Musi? Rasanya mustahil. Mengingat di Singapura, dia hanya menyentuh kaum berkelas elite intelektual. Bukan membuka workshop dengan orang-orang jembel yang hidup di pasar becek-amis-bau dan yang secara teknis-estetis-akademis hanya bermodal semangat, sedangkan keterampilan dan penampilan jembel mereka lebih menerbitkan rasa mual daripada lega. Atau, di Finlandia dan Australia, Putu membagi ilmu kepada grup-grup teater-profesi yang jelas latar belakangnya dan prospek keuntungan finansial di latar depannya. Memang dulu pernah kita tahu seniman asal Bali itu merantau lama hidup dengan para petani di sebuah desa di Jepang.

Tentu Putu paham, paradigma standar estetika elite sering hanya berkubang di tempat tak-ternoda berupa data statistik dan rangkaian teori ilmiah yang mengaca terlalu jauh hingga tak kenal lagi dengan romantisme pasar becek dan amis, yang berbau tak sedap. Di tataran elite, semua sudah tersedia, baik pakarnya ataupun perangkat teori-praktiknya, sejak zaman Plato sampai AB Payu, maka orang lain seolah tak berguna. Tak heran kalau, misalnya, ada pasar yang kena gusur lantaran otoritas kota pempek membela paradigma “demi keindahan tepian Sungai Musi” yang sebenarnya bermakna absurd bagi orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari Pasar 16 Ilir, Palembang.

***

PUTU Wijaya jadi idola saya karena ajaran “sesat”-nya bahwa penulis adalah pembaca seumur hidup (long-life reader). Kami mungkin akan jadi dua orang penentang pertama dari pendapat yang menyatakan penulis hanya produsen bukan konsumen: bahwa untuk menulis tidak perlu banyak membaca.

Kalau dia datang, saya pengen banget minta tanda tangan. Sekalian bertanya kepadanya, mengapa dia tak lagi mencipta cerpen sehangat “Telur” yang dulu nyaris membikin saya mati ketawa jungkir-balik terpingkal-pingkal geli.

***

MENULIS risalah ini sambil duduk di bilah tangga-melingkar Museum SMB II, saya teringat dengan Li Bai, penyair Cina di masa Dinasti Tang, yang menulis puisi tentang rembulan dan rumah tua. Di tangga rumah tua berusia lebih 100 tahun yang pernah dihuni gubernur-jenderal Belanda di Palembang, sejak van Sevenhoven, Nessel van Lissa, hingga Le Coqc de Armand ‘de ville, terasa semilir angin sejuk dari Laut Benteng di tepi Sungai Musi mengibarkan rambut gondrong....

Selasa, 22 Juli 2008

Cronicle

The Rain of July Moon

By Arpan Rachman

Forgive me, lost time by above title of one month. It to be is true cannot excel the title of poem from Sapardi Djoko Damono. On the other hand, I must write in May. However, that month is grilling hot no rain, even dot even also drizzle.

Mister Pardi narrates the simple love, “... to fire making dusty it”. And I do not willing to cite the popular idiom from lip of Cinta Laura, artist of mixture of parent origin from that Germany-Java, “Have muddy, nope there is ojek....”

Palembang, the town in my home address, has been nicknamed by “the Venice of the East”. However, high-rise wooden house pillar two riparian of Musi do not made than concrete of like antique building consecution in Venice.

Peoples of Palembang called to inveterate podium house pillar as “cagak” what stake from wood “tembesu”. Some people recognize as wood pared from one tree “trembesi”. Named “trembesi” perhaps its endurance cause as sturdy as iron.

When WS Rendra tell every poet own house in wind, hence our people recognize the tradition own house in river periphery. I guess, from a long-long time, every country of Musi River, each of the countrified, ancient, and old always built riparian.

We ordinary mention the shares side river periphery as “sea”, while spelled out members great roadside shares “land”. Somebody moment which will take a bath to river for example interrogated “Will where?” surely he reply, “To sea”. On the contrary if going to market or circle at elbow roadway, he of course easy to say, “To land”.

Nevertheless, that tradition individuality totally disappeared almost us town. To left behind, only people from just area above upstream. For a while in number defect the downstream, have more and more seldom be seen by a raft house sticking its pillar into water of Musi River.

In the area go downstream it is true still stand up the market of 16 Ilir, port of Boom Baru, fortress of Kuto Besak, and market of Sekanak which become the omissions a period to ago. Far area of river upstream, riparian kampong of Musi, which is from direction of area Kertapati to area Plaju stand at bay, although with the foundation which almost moulder defeated by epoch.

My father passed away, what is in its teen-age have worked as tekeenaar (marker) at Geologische Afdeling (part of geology) in Bataafsche of Petroleum Maatschappij (oil company Dutch), telling a story that origin of name Plaju: a refinery area in the cross upstream, taken away from by the one few leaves only tree. That tree live the near by port of Boom Bawah Skendal, place of ship of pontoon of conveyor of oil labour defect to come home. That tree bear fruit and its fruit named “fast fruit”.

However, as my father passed away, that tree also nowadays omit the name. Moreover, I pray to them in the middle of rapid rain of July moon.

Selasa, 15 Juli 2008

Kronika

Hujan Bulan Juli

oleh M Arpan Rachman

MAAFKAN; judul di atas terlambat sebulan. Jadinya memang tak bisa mengungguli judul puisi Sapardi Djoko Damono. Atau, mestinya saya menulis di bulan Mei. Tapi bulan itu panas terik tiada hujan, meski setitik pun gerimis.

Pak Pardi menceritakan cinta sederhana, “...seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Dan saya tak mau mengutip idiom populer dari bibir Cinta Laura Kiehl, artis sinetron blasteran Jerman-Jawa itu, “Sudah becek, nggak ada ojek....”

Palembang; kota di alamat rumah saya, pernah dijuluki Venice of the East. Tapi tiang rumah-rumah kayu bertingkat dua di tepi Sungai Musi tidak terbuat dari beton seperti deret bangunan tua di Venesia.

Tiang rumah panggung yang lazim disebut orang Palembang sebagai cagak dipancang dari kayu tembesu. Sebagian orang lumrah mengenalnya sebagai kayu yang dikupas dari sebatang pohon trembesi. Dinamakan “trembesi” barangkali lantaran daya tahannya sekokoh besi.

Bila Rendra mengatakan penyair berumah di angin, maka orang kami mengenal tradisi berumah di pinggir sungai. Sepanjang negeri di lintas alur Sungai Musi, perkampungan tua, kuno, dan lama selalu bergalur di tepiannya.

Kami biasa menyebut bagian sebelah pinggir sungai sebagai “laut”, sedangkan bagian sisi jalan raya dibilang “darat”. Saat seseorang yang hendak mandi ke sungai misalnya ditanya, “Mau ke mana?” pasti dia menjawab, “Ke laut.” Sebaliknya kalau pergi ke pasar atau kalangan di dekat jalan raya, dia tentu enteng berkata, “Ke darat.”

Tapi ciri khas tradisi itu hampir punah di kota kami. Yang bertahan, hanya orang-orang dari kawasan seberang ulu. Sementara di bilangan seberang ilir, sudah makin payah melihat ada rumah-rumah rakit yang menempelkan tiangnya ke cipak air Sungai Musi.

Di seberang ilir, tinggal Pasar 16 Ilir, Pelabuhan Boom Baru, Benteng Kuto Besak, dan Pasar Sekanak yang jadi landmark masa silam. Jauh di ulu, kampung-kampung tepi sungai masih bertahan walaupun dengan pondasi yang hampir lapuk tergerus zaman.

Mendiang orang tua saya, yang di masa remajanya pernah bekerja sebagai tekeenaar (juru gambar) di Geologische Afdeling (bagian geologi) di Baatafsche Petroleum Maatschappij (maskapai perminyakan Belanda), bercerita bahwa asal nama Plaju: sebuah kawasan kilang minyak di seberang ulu, diambil dari sebatang pohon yang rindang. Pohon itu hidup dekat Boom Bawahskendal, tempat kapal ponton pengangkut buruh-buruh minyak menyeberang pulang. Pohon itu berbuah dan buahnya dinamakan “buah pelaju”.

Tapi seperti almarhum, pohon itupun kini tinggal namanya saja. Dan saya baru saja berdoa untuk mereka di tengah hujan bulan Juli.

Kamis, 10 Juli 2008

Utik

Resensi Buku

Ya Salam..., Almustafa

oleh M Arpan Rachman

Judul: Almustafa

Penulis: Kahlil Gibran

Diterjemahkan dari The Prophet

Alfred Knopf, Inc., New York, 1923

Cetakan Pertama Edisi Hardcover, Februari 2008

Penerjemah: Sapardi Djoko Damono

Penerbit: Bentang

viii+124 halaman; 15 cm

ISBN 978-979-1227-21-6

Aku adalah pencari keheningan, dan harta apakah yang kudapat dari keheningan itu sehingga dengan yakin aku bisa membagi-bagikannya? (halaman 5)

Dia lelaki asing: perantau yang terdampar dari sebuah kapal. Lantaran keluasan wawasannya yang seperti lautan, Almustafa dianggap orang suci oleh seluruh penduduk kota Orphalese.

Walau awalnya lelaki itu dipandang sebelah mata, kecuali oleh seorang peramal bernama Almitra yang menganggapnya sebagai utusan Tuhan. Sejak itu pula ia dihormati seperti aulia tanpa dosa.

Tapi yang diingini seluruh perantau, juga Almustafa, adalah kembali ke rumah dan pulang kampung. Tatkala rasa rindu mencekamnya supaya berangkat pergi dari kota itu, penduduk menahannya untuk berkhotbah.

Khutbahnya panjang-lebar, nyaris tentang segala hal: cinta, perkawinan, anak-anak, sedekah, makan dan minum, kerja, suka dan duka, rumah, pakaian, jual-beli, kejahatan dan hukuman, kemerdekaan, akal dan nafsu, kepedihan, kesadaran diri, pengajaran, persahabatan, ihwal bicara, makna waktu, baik dan jahat, doa, kepuasan, keindahan, agama, dan maut.

Jika semua yang kukatakan adalah kebenaran, kebenaran itu sendiri akan mengungkapkan dirinya dengan suara yang lebih jelas, dan dengan kata-kata yang lebih dekat dengan pikiranmu (halaman 107).

Selamat tinggal penduduk Orphalese, batinnya.

***

BUKAN kebetulan jika Sapardi Djoko Damono, sastrawan terkenal Indonesia, ahli sastra Jawa, yang menerjemahkan karya Kahlil Gibran. Bahasa Jawa, yang dikuasai secara ahli oleh Damono, juga memuat banyak tingkat “eufe-mistik” (eufemisme separuh mistik) layaknya bahasa Arab. Kehalusan tersirat perpaduan nuansa Jawa-Arab tersanding baik dalam kisah Almustafa.

Meski Gibran pertama kali dulu menulis karyanya ini dengan bahasa Inggris. Namun aksentuasi Arabisme, tanah moyangnya, lekat bersemayam dalam ubun-ubun penyair Lebanon yang hijrah ke Amerika. Wawasan “author’s authority” (kekuasaan pengarang) itulah yang muncul di pelbagai karyanya tanpa ada satupun yang terkecuali.

Sekadar komentar, menyitir ungkapan penerjemah,

“Terjemahan ini bisa saja dianggap sebagai komentar terhadap sejumlah terjemahan yang sudah beredar, namun sekaligus dan lebih dari itu saya mengharapkannya mampu menampung pengungkapan yang, meskipun populer, memiliki kekuatan yang memaksa kita untuk mempertimbangkan kembali berbagai konvensi sosial dan moral yang selama ini kita ciptakan untuk kita yakini.”

Kahlil Gibran ciptakan mimpi. Kita tidur nyenyak. Zzz....

Utik

Resensi Buku

Ya Salam..., Almustafa

oleh M Arpan Rachman

Judul: Almustafa

Penulis: Kahlil Gibran

Diterjemahkan dari The Prophet

Alfred Knopf, Inc., New York, 1923

Cetakan Pertama Edisi Hardcover, Februari 2008

Penerjemah: Sapardi Djoko Damono

Penerbit: Bentang

viii+124 halaman; 15 cm

ISBN 978-979-1227-21-6

Aku adalah pencari keheningan, dan harta apakah yang kudapat dari keheningan itu sehingga dengan yakin aku bisa membagi-bagikannya? (halaman 5)

Dia lelaki asing: perantau yang terdampar dari sebuah kapal. Lantaran keluasan wawasannya yang seperti lautan, Almustafa dianggap orang suci oleh seluruh penduduk kota Orphalese.

Walau awalnya lelaki itu dipandang sebelah mata, kecuali oleh seorang peramal bernama Almitra yang menganggapnya sebagai utusan Tuhan. Sejak itu pula ia dihormati seperti aulia tanpa dosa.

Tapi yang diingini seluruh perantau, juga Almustafa, adalah kembali ke rumah dan pulang kampung. Tatkala rasa rindu mencekamnya supaya berangkat pergi dari kota itu, penduduk menahannya untuk berkhotbah.

Khutbahnya panjang-lebar, nyaris tentang segala hal: cinta, perkawinan, anak-anak, sedekah, makan dan minum, kerja, suka dan duka, rumah, pakaian, jual-beli, kejahatan dan hukuman, kemerdekaan, akal dan nafsu, kepedihan, kesadaran diri, pengajaran, persahabatan, ihwal bicara, makna waktu, baik dan jahat, doa, kepuasan, keindahan, agama, dan maut.

Jika semua yang kukatakan adalah kebenaran, kebenaran itu sendiri akan mengungkapkan dirinya dengan suara yang lebih jelas, dan dengan kata-kata yang lebih dekat dengan pikiranmu (halaman 107).

Selamat tinggal penduduk Orphalese, batinnya.

***

BUKAN kebetulan jika Sapardi Djoko Damono, sastrawan terkenal Indonesia, ahli sastra Jawa, yang menerjemahkan karya Kahlil Gibran. Bahasa Jawa, yang dikuasai secara ahli oleh Damono, juga memuat banyak tingkat “eufe-mistik” (eufemisme separuh mistik) layaknya bahasa Arab. Kehalusan tersirat perpaduan nuansa Jawa-Arab tersanding baik dalam kisah Almustafa.

Meski Gibran pertama kali dulu menulis karyanya ini dengan bahasa Inggris. Namun aksentuasi Arabisme, tanah moyangnya, lekat bersemayam dalam ubun-ubun penyair Lebanon yang hijrah ke Amerika. Wawasan “author’s authority” (kekuasaan pengarang) itulah yang muncul di pelbagai karyanya tanpa ada satupun yang terkecuali.

Sekadar komentar, menyitir ungkapan penerjemah,

“Terjemahan ini bisa saja dianggap sebagai komentar terhadap sejumlah terjemahan yang sudah beredar, namun sekaligus dan lebih dari itu saya mengharapkannya mampu menampung pengungkapan yang, meskipun populer, memiliki kekuatan yang memaksa kita untuk mempertimbangkan kembali berbagai konvensi sosial dan moral yang selama ini kita ciptakan untuk kita yakini.”

Kahlil Gibran ciptakan mimpi. Kita tidur nyenyak. Zzz....

Rabu, 02 Juli 2008

Kronika

Anasir Jahat dalam Kesenian

oleh M Arpan Rachman

BAGAIMANA karya seni jadi alasan yang masuk akal? Sulitkah teater dilogikakan?

Teater tanpa Manajemen

AP Bayu menulis artikel berjudul Membaca Teater Hari Ini di harian lokal dalam grup Jawa Pos News Network (18/5/2008). Dipinjamnya mulut tokoh Atmadi untuk menyatakan pikiran tentang tiga persoalan.

Pertama, katanya, “Teater tanpa manajemen dia akan seperti kuda pusing di dalam pasar malam”. Jadi, grup teater idealnya toleran dengan orientasi bisnis dan massal melalui pengetahuan ekonomi-sosial secara luas. Ilmu itu tentunya mudah diterapkan oleh spesialis yang berkompeten.

Di satu sisi, manajemen seni pertunjukan hari ini di Tanah Air lihatlah tetap mengusung semangat gotong-royong kebersamaan mirip lima belas tahun silam. Ada misalnya para pengharap dana pariwisata, tapi banyak pula yang tidak. Ada yang berhubungan erat dengan penguasa dan pihak asing, namun ada juga yang tidak.

Pameran lukisan, diskusi novel, dan pementasan teater merupakan seni pertunjukan yang dikelola baik. Pelukis, novelis, dan para dramawan gigih melawan siasat, aksi, dan intrik di luar produksi karya dari para penggelap sejarah, penjahat asal-usul, bandit seni yang mengoncer ponjen dana kesenian dalam mata pasal APBD/APBN, dan kolaborator penguasa yang bermain di taring hegemoni pusat-pusat Balai Bahasa.

Pameran lukis, diskusi novel, pentas teater jadi pertunjukan rendah hati yang menjaga pelbagai kota dan provinsi lokal dari kesombongan “budaya tinggi” yang sok pintar. Arogansi budaya sempalan itu berpotensi mengelirukan logika dengan cara mengantarkan teori-anti-teori kepada khalayak, lewat misalnya sebuah artikel di koran.

Sementara itu, stok keuntungan finansial dan penikmat baru di dunia teater hari ini mungkin masih saja dimayoritasi oleh siswa, pelajar, mahasiswa, selebihnya kalangan tanpa juntrungan identitas. Penonton jenis “sekolahan” bahkan ada yang diduga muncul lantaran “dipaksa” guru untuk mengerjakan “tugas” kesenian. Sedangkan pendatang baru, karcis, dan sponsor barangkali terus merupakan tiga anasir jahat dalam teater modern di Indonesia.

Teater Berhadapan Film dan Sepakbola

KEDUA dan ketiga – kata Bayu – teater saat ini berhadapan dengan film-film Amerika, India, Hongkong, plus sinetron di televisi, tari perut, triping..., juga sepakbola. Dilogikakan “berhadapan”, maka bukan saat ini saja, melainkan teater sejak dulu kala berhadapan dengan film domestik/asing, olahraga, dan lain-lain.

Tapi penonton teater, film, sepakbola masing-masing sangat mungkin berbeda orangnya. Bijakkah dan elokkah kiranya bila kita memperhadapkan teater-film-sepakbola dengan cara menyimpan kesan bahwa film, sepakbola, dan lain-lain itu merupakan “kompetitor mumpuni” bagi teater?

Sementara kaca besar dari fenomena konsumerisme memantulkan wajah chaos dalam jagad karya seni di masyarakat kita hari ini. Tenggelamnya Titanic jadi sejarah, sedangkan film cinta yang merendengi insiden karamnya kapal itu adalah sejarah lain. Maka, jangankan memperhadapkan karya-karya di bidang sosial-ekonomi berbeda yang dipertunjukkan dengan cara yang tak sama. Karya sama yang dimodifikasi lalu diunjukkan dengan cara berbeda pun menghadapi dilema. Mana yang lebih unggul? Atau lebih baik dan benar?

Novel Ayat-ayat Cinta apa sebanding antara buku dengan filmnya? Apa ada fakta keterkaitan antara enterpreneur Adrie Subono (keponakan BJ Habibie) saat hendak mendatangkan rapper Eminem dengan dilarangnya Denada Tambunan menyanyikan lagu hip-hop oleh Habibie saat jadi Presiden?

Pernahkah Anda membaca trilogi JRR Tolkien tentang perjalanan jauh empat hobbit asal Shire untuk melemparkan cincin kutukan ke gunung api? Secara pribadi, menurut hemat saya, buku terjemahannya bertele-tele, melulu berkisah tentang perjalanan setengah tamasya separuh petualangan, dipermainkan tempo menyenangkan-mencekam yang silih-berganti penuh suspensi. Namun tiga film sekuel the Lord of the Ring yang kolosal mengudak-aduk emosi dan kocek penonton bioskop dan DVD bajakan.

***

SENI pertunjukan yang banyak massanya, menguntungkan secara ekonomis, dan bahkan politik, diselenggarakan oleh event organizer zaman Romawi. Mereka mengundang penonton datang ke Koloseum. Anak-anak, remaja, perempuan, ibu-ibu, dan orang tua menonton riuh-ribut dan melupakan sejenak persoalan hidup mereka. Di tempat lain, para lelaki kuat, kecuali para budak gladiator, saat itu bertempur di negeri-negeri yang jauh lantaran watak agresif Imperium Roma menjajah dunia.

Di tribun Koloseum, sekeping memori – tentang ayah yang gugur di medan perang, kekasih yang dijemput maut di Anatolia, lelaki yang pergi tak jua pulang dari Turki, kaum suami yang tak tentu rimbanya di Asia Kecil, dan remaja yang kehilangan orang tua – sesaat terhapuskan, tatkala roti-roti dilemparkan dari podium ke segala arah penonton yang berperut lapar.

Hingga detik ini, suka atau tidak, seni pertunjukan ala Romawi telah menghiasi hidup sebagian orang kita. Seni pengekornya kemudian jadi hilang pesona. Apa menariknya kesenian yang diproyekkan penguasa?

Kekuasaan selalu memproyeksikan kebudayaan. Yang menolak arogansi tersebut, terpaksa menerima nasib buruk, tak pernah dibagi proyek. Tapi, mungkin tak apa-apa, sebab yang melawannya masih banyak berderet ke belakang. Deret itu pasti beralih posisi sejajar, berpindah tempat, merebut senjata kekuasaan dengan revolusi.

Yang patut diusut nanti, adalah para pengelompok definisi. Mereka termasuk yang mengatakan bahwa teater, film, dan sepakbola tak lebih seperti “para pengamuk” yang harus bertempur satu sama lain demi enaknya nafsu berkuasa. Mereka pikir, seninya terjadi saat gladiator bertanding dan roti dilemparkan. Mereka juga berpikir, kita tak lebih dari serabut otak dan keringat yang hanya mencari makanan dan mainan. Salah seorang dari yang bernafsu itu pernah menulis logika irrasional di koran grup JPNN beberapa waktu lalu.*

Senin, 30 Juni 2008

Nisbinya Jatidiri Buruh Perempuan

Resensi Buku

Nisbinya Jatidiri Buruh Perempuan

oleh M Arpan Rachman

Judul: Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan Hidup di Kota – Balada Buruh Perempuan

Penulis: Aris Arif Mundayat, Erni Agustini, Keppi Sukesi, Margaret Aliyatul M.

Penerbit: Woman Research Institute

Edisi: Cetakan I, April 2008

Ukuran: 15x22 cm

Isi: viii + 193 halaman

ISBN: 978-979-99305-7-6

PEREMPUAN ikut terbawa arus urbanisasi dari desa ke kota. Mereka jadi buruh di pabrik-pabrik kawasan industri. Para buruh perempuan keluar dari alam dan lembah kerentanan ekonomi perdesaan, lalu bertahan hidup di kota yang asing bagi mereka. Sejumlah masalah yang sulit diatasi, kemudian muncul dalam relasi survivalitas yang unik antara perempuan asal desa dengan profesi buruh yang mereka sandang di kota.

Seperti kasus Enong (24), buruh perempuan asal Desa Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten, yang bekerja di pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Tanjung Priok, Jakarta (halaman 69-102).

Enong hamil tapi mengalami keguguran. Kondisi buruh perempuan itu dilindungi UU Ketenagakerjaan No 13/2003. Tapi Pasal 82 ayat 2 UU itu memang hanya menyebut, “pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter atau bidan”. Jadi, bagian personalia di perusahaan tempatnya bekerja menampik untuk membayar upahnya selama Enong tidak bekerja saat kandungannya gugur.

Di sisi lain, pengetahuan buruh perempuan tentang kesehatan reproduksi tampaknya masih amat terbatas. Sedangkan keterbatasan akses informasi buruh perempuan tentang kesehatan reproduksi makin diperparah oleh sikap pengusaha yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi.

***

SELENGKAPNYA ada empat studi kasus yang dilakukan para peneliti dari Women Research Indonesia. Mereka menyorot “dunia” buruh perempuan dengan kacamata metode feminis.

Lima locus dijejaki sejak Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, KBN Tanjung Priok, Kawasan Jababeka, Kawasan Cibitung Bekasi, sampai pabrik rokok di Jawa Timur. Masalah yang dicermati ialah pendidikan dan kesadaran hak-hak buruh, kesadaran tentang perlindungan kesehatan reproduksi, sistem perburuhan dalam kaitan dengan kesejahteraan buruh perempuan, buruh perempuan dan organisasi buruh pasca-Reformasi, konstruksi gender dalam kerja/dunia industri.

Bagaimana buruh perempuan keluar dari dunia agraris, lalu menyesuaikan diri dengan lingkungan industrial? Apa strategi mereka bertahan di kota besar? Di mana perempuan memosisikan diri ketika berangkat meninggalkan desa menuju kota?

Sebagai salah satu khazanah tafsir, judul “Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan Hidup di Kota” berisi siratan bahwa buruh perempuan harus mengatakan sebuah pilihan. Tagline buku ini ditulis “...sangat penting sebagai referensi untuk kepentingan akademik dan advokasi”.

Buruh perempuan seperti ribuan kunang-kunang menggemerlapkan malam. Mereka hidup risau dalam jatidiri yang berubah jadi nisbi.

Pengirim:

M Arpan Rachman

0711 9104419

Selasa, 17 Juni 2008

Musi Terus Mengalir


Oleh M ARPAN RACHMAN
Terbitnya Majalah Kebudayaan Musi Terus Mengalir oleh Komunitas Kalidoni menjadi kabar menggembirakan. Terlepas dari mana sumber dananya, wadah pengembangan kreatifitas penulis dan seniman itu merupakan ruang besar bagi tampilnya nama-nama baru di jagad tulis Palembang.
Semangat yang ingin ditularkan dari terbitnya majalah kebudayaan yang secara serius melakukan studi kritis adalah terbukanya kesempatan dan kemungkinan yang baru, mendalam, jauh, dan lain. Efeknya, akan berkembang menjadi telaah yang teliti tentang kebudayaan yang di dalamnya sarat bergulatnya muatan lokal. Soalnya budaya sendiri secara definitif lebih menginginkan kemampuan analisa dan evaluasi dari para pengupasnya, dan bukan sekaear penganut paham fanatiknya belaka. Dalam hal ini, kemudian, majalah kebudayaan mestinya sudah ada sejak negeri ini dipetakan sebagai provinsi di belah selatan Pulau Perca.
***

Selama ini, secara nasional, sudah tersohor beberapa jurnal dan majalah semi-populer yang rutin mengupas aspek budaya seperti Horison, Kalam, dan Prisma --yang sudah meninggal dunia.
Horison, terbitan Yayasan Indonesia, berupa majalah sastra satu-satunya di tanah air setelah Sastra dan Kisah tidak terbit lagi. Di majalah itu, beberapa waktu lalu, terjadi kisruh perseteruan sengit antara blok Goenawan Mohamad versus Taufiq Ismail, yang akhirnya dimenangi Taufiq dengan cara menyingkirkan nama Goenawan dari catatan sejarah Horison dan mendudukkan nama istrinya, Ati Ismail, sebagai Sekretaris Redaksi, hingga sekarang.
Sementara Jurnal Kalam merupakan eksistensi sebuah mercu suar independen ditopang kesolidan Komunitas Utan Kayu, yang dimotori Goenawan Mohamad. Jurnal ini lebih pekat dengan nuansa olah-pikir alternatif dari berbagai ahli lintas-budaya maupun lintas-negara dengan senjata utama bertumpu pada kekuatan seni rupa.
Tersebutlah beberapa nama lagi jurnal budaya lain seperti yang pernah terbit di Depok, Surabaya, Denpasar, Padang, Tegal, Yogyakarta, dan Bandung. Jurnal-jurnal kebudayaan versi lokal tersebut pada perjalanannya tetap setia hidup seperti bonsai (bukan kerdil) dan mengenyahkan ambisi untuk jadi besar. Sayang sekali, napas terbitan berkala jurnal-jurnal model swadaya itu banyak yang tak panjang.
Ada yang mati muda tanpa meninggalkan berkas-berkas olah-pikir yang penting. Ada juga yang mati suri, tapi meninggalkan warisan ide berlian. Banyak yang menyisakan pekerjaan rumah untuk dieksplorasi lagi idenya lewat kajian yang lebih ilmiah.
Jurnal semacam itu, di sisi lain, mungkin memiliki kelemahan, yakni pengelolanya tidak dibekali napas panjang dan bersandar kepada ilmu siasat ala kadarnya. Mereka hanya bermodal semangat hebat, yang kelirunya malah sering terlalu menggebu-gebu hingga melebihi modal napas, siasat, dan ilmu pengetahuan mereka sendiri.
Contohnya, aliran ide Revitalisasi Sastra Pedalaman pada dekade 1990-an dari Sosiawan Leak asal Tegal, yang menempuh jalan buntu kegagalan akibat ditinggalkan para penggemar dan pengikutnya sendiri. Contoh sejenis itu di tanah air ini dapat diukur dalam deret hitung yang panjang.
***

Wadah penampil kreasi gagasan seni-budaya dalam skala lokal, secara jujur atau tidak jujur --haruslah diakui jarang yang mampu menjadi penyuluh strategi kemanusiaan yang logis dan mudah diikuti oleh seluruh seniman. Idealnya, secara manusiawi, memang harus ada pihak yang menolak, lantaran kalau ada buah yang jatuh dari sebatang pohon kebudayaan lalu seluruh seniman memungutnya tanpa mau berbeda ideologi lagi, maka terjadilah seperti awal pengetahuan bertemu dengan ujungnya. Dan dunia ini selesai, semua masuk surga. Akhirnya yang disuarakan cuma spiritual model omong kosong gaib, yang justru tidak diterima bumi.
Majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir diharapkan menjamin akurasi tak meleset untuk (meminjam istilah religius) menentukan arah kiblat bagi para seniman demi mengukuhkan ciri identitas khas mereka yang jadi bagian komunitas sosial. Tanpa pikir panjang, Musi Terus Mengalir merupakan destinasi kebaikan bagi seniman Sumsel. Dalilnya sesuai lirik lagu populer duet Broery Pesolima dan Dewi Yull, “Jangan ada dusta di antara kitaaa...” Kejujuran para pengusung aliran kebudayaan yang menyandingkan gagasan lewat majalah itu, hendaknya dikuatkan oleh faktor vital untuk melawan ketidakjujuran aliran kehidupan lain.
Edisi perdana majalah dari Komunitas Kalidoni menampilkan kuatnya kekayaan khasanah intelektual yang terpantul dari nuansa kerja serius yang tajam seperti belati Palembang dan begitu dalam seperti lubuk Sungai Musi. Misalnya, apa yang tersurat dalam kajian Maslow ternyata dapat dipikir-pikir panjang secara berulang-ulang, lalu disajikan sebagai menu istimewa yang jadi kontemplasi cerdas tentang ikan-ikan Sungai Musi dalam pinggan esai Taufik Wijaya bin Kemas Muhammad Bachtiar.
Artikelnya memberi pencerahan berharga kepada pembaca supaya melihat apa yang tersirat. Berikutnya, ikon-ikon grafis manis karya Erwan Suryanegara bertebaran di sekujur halaman majalah, membentuk semacam keping-keping puzzle yang mengagumkan bagi para pecinta teka-teki anagram dalam semangat lukis-sketsa.
***
Musi Terus Mengalir mungkin ide awalnya digagas di siang hari beberapa bulan purnama puasa silam, saat mengobrol santai di lobi Hotel Quality Daira Palembang antara aktivis Nia Sjarifuddin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) dengan T Wijaya bin M Bachtiar dari Kalidoni. Ketika itu, mereka mengobrol antusias.
Secara patuh dan menyimaknya lekat-lekat, saya hanya ikuti sebagai pendengar setia sembari menahan diri agar tidak berdosa lantaran sedang menjalani ibadah Ramadhan. Kini, ide itu jadi kenyataan, betapa senangnya. Tapi di edisi kedua, tak tercantum lagi ANBTI, barangkali kolaborasi itu putus setelah edisi pertama diterbitkan.
Terbitnya majalah, sama persis dengan timbulnya matahari pagi. Di sana ada kepastian, bahwa keluhuran sebatang hari pasti terjaga. Ia berpotensi kuat menyetrum olah-pikir yang gilirannya memacu olah-tindak demi mematangkan strategi kebudayaan. Misalnya, demi memperjuangkan nasib para seniman atas nama prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diratifikasi Indonesia dan berlaku juga di Sumatera dan kota pempek, Palembang.
Kewibawaan disandang kebudayaan. Apalagi bila ditunjang ilmu pengetahuan yang tersebar luas pada khalayak.
Artikel, esai, tinjauan, kajian, dan karya yang mengisi budaya-tulis hendaknya memenuhi syarat layaknya sebuah proses penelitian di laboratorium. Kaum seniman tidak usah takut mencari inspirasi seperti memegang tabung reaksi, garpu tala, dan bejana, tanpa berpikir bahwa sesuatu akan meledak di luar sana agar napas sungai Musi (terus) Mengalir panjang.
***
Dari namanya, diketahui, majalah ini mengambil nama sungai terbesar di Pulau Sumatera. Bila surut, air di Sungai Musi mengalir ke hilir, ke arah muara Sungsang. Saat pasang, airnya menjauh ke hulu, ke arah Ulu Musi, tempat mata air Sungai Musi berada di kaki Gunung Dempo. Pasang bertanda air dari laut di Selat Bangka memasuki Muara Sungsang, dan segera melimpahi sungai dengan debit air yang ruah. Surut berkata air laut di Selat Bangka susut dan meminta tambahan debit dari Sungai Musi. Pasang-surutnya majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir menghiasi dinamika kebudayaan di Negeri Batang Hari Sembilan.
***

Rasio Sastra, Mengenang Pramoedya Ananta Toer


Oleh M ARPAN RACHMAN
“Setiap manusia yang hidup akan menemui kematian…”
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang menjelma bagai sebuah ikon tentang kebebasan yang dibungkam. Sebagai pengarang, dia mendapatkan nama besar dari penjara ke penjara, menjadi orang hukuman. Mula-mula dijebloskan pada Aksi Militer I Belanda, kemudian ditahan dan dibuang oleh rezim yang pernah berkuasa di Indonesia.
Di penjara lahir sebagian besar cerita-ceritanya yang terbaik. Cerita-cerita itu antara lain telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Banyak silang-sengketa masih meliputi sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai pribadi. Apa sebenarnya alasan rezim penguasa sampai membuangnya ke dalam kamp konsentrasi di Pulau Buru?
“Memiliki seorang pengarang besar bagi rezim yang berkuasa, sama halnya dengan mempunyai sebuah pemerintahan yang lain,” kata Alexander Solzhenitzyn, sastrawan Rusia yang juga pernah dibuang penguasa. Mungkin saja terpenjaranya pramoedya dan Solzhenitzyn dapat dihubungkan: karena sama-sama mempunyai nama besar sebagai “pemerintahan yang lain” yang mengeluarkan komunike melalui karya-karya sastra. Dan pertanyaan tersebut dianggap terjawab.
Membaca kumpulan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer berjudul Percikan Revolusi+Subuh ternyata dapat juga menerbitkan rasa haru yang mendalam. Cerpen-cerpen yang dalam kata pengantar HB Yassin, “…terkarang semasa pengarang(nya) berada dalam tahanan semenjak aksi militer-I tanggal 21 Juli 1947 sampai tahun 1949.”
Memadukan dua judul kumpulan berbeda yang pertama kali terbit di tahun 1951. Berisi dua belas judul cerpen yang ditulis dalam langgam ekspresif: karya pengarang kawakan yang pada suatu zaman buah pikirannya pernah diberangus dan dilarang karena dianggap subversif dan melawan kekuasaan.
Beberapa di antara cerpen-cerpen itu sarat dengan muatan aspek religiusitas yang seperti mengesahkan diktum: pada awal mula, segala sastra adalah religius (YB Mangunwijaya, 1992). Muncul firasat pramoedya akan akhirat, misalnya …Sekiranya kulit bumi ini merendah dan kemudian air samudera menggenang dahsyat–manusia akan seperti semut disiram air panas…(halaman 28: cerpen berjudul Gado-gado) yang menyiratkan nuansa tentang hari kiamat.
…Peluru musuh yang seperti kunang-kunang beterbangan, tak sebuah pun yang mengenainya. Tuhan masih melindungi…(60: Ke Mana) yang mengandung pengertian bahwa sang tokoh adalah orang yang mempercayai adanya kekuatan Yang Maha Kuasa.
Atau, …Dengan tiba-tiba saja mereka yakin akan adanya Tuhan… (69: Kemelut). Tokoh Abdul dan Maliki adalah dua nama Islami (75: Masa). Percakapan antara Karel dan Willem: dua orang Nasrani (81-97: Orang Baru).
…Dan barulah aku mengerti: ia bersembahyang…(104: Kawanku Se-Sel).
…Tapi yang aneh: doa dan harapanku supaya tak lagi bertemu dengannya terkabul. Aku telah berdosa padanya… (167: Jalan Kurantil 28).
…Dan Tuhan yang satu dan tak terpecah-belahkan itu dipinta untuk memenangkan dua pihak yang bunuh-membunuh: puncak kebebalan manusia! (180: Dendam).
Cerpen-cerpen itu bercerita banyak tentang religiusitas sebagai bagian gagasan yang hendak disampaikan pengarangnya. Terlepas dari masih adanya silang-sengketa sementara kalangan terhadap pramoedya Ananta Toer yang dulu pernah dihujat karena ditengarai mengekang kebebasan sesama sastrawan. Sekarang di jalan-Nya yang lapang, tentu Pram dengan sendirinya termaafkan.
Rasio yang dapat dijadikan sebagai kacamata mikroskopis tentang sastra yang merupakan wujud emblematik kebudayaan literer yang hidup di dalam masyarakat sekaligus sebagai locus genus bermuara pada khasanah budaya Melayu karena dari kebudayaan tersebut bangsa Indonesia memiliki bahasa ibu, yakni dengan menerapkan karya sastra menjadi logos keilmupengetahuanan bagi generasi muda sejak usia dini sebab dengan cara itulah sastra benar-benar bisa menjadi hak-milik intelektual yang dapat diteoretisasikan dan dipraktikkan serta dipelajari dan diabadikan.
Bangsa yang besar ini tentu tidak ingin mengulangi sejarah buruk berbagai khasanah budaya sastra tutur yang diliterasikan secara oral pada zaman dahulu kala, tetapi jangankan gagasan menjadikannya sebagai salah satu materi pembelajaran untuk umum, bahkan upaya-upaya pendokumentasiannya pun seringkali tidak kunjung dilakukan secara teliti dan memadai, sehingga banyak karya dari khasanah budaya tersebut akhirnya hilang ditelan zaman.
Bila pandangan negatif seperti yang dikatakan Solzhenitzyn terus dibiarkan, secara ironis karya kesusastraan termasuk cerpen-cerpen pramoedya Ananta Toer akan tinggal sebagai artefak budaya akulturasi belaka: karya-karya kesusastraan yang dilestarikan oleh orang asing di dalam museum dan ruang pembicaraan publik di negeri mereka saja.
Tetapi sejarah perunutan kelestarian sebuah karya, terutama karya-karya kesusastraan, tidak mungkin dapat menampik asal-usulnya sendiri sebagai bagian dari “sesuatu yang hilang”. Soalnya mungkin saja sastra Latin adalah hasil proses akulturatif juga: sebuah locus genus yang berawal entah dari mana kemudian terbawa angin hingga ke jalan menuju Roma, yang dapat dijejaki pembentukannya sejauh sejak huruf hiroglif pertama ditemukan.
Lalu jejak rasio sastra merentang jalinan the-missing-link panjang sampai kepada khasanah Melayu, yang tidak lebih dari pengembangan salah satu cabang sinologi dengan unsur kental hinduisme karena menurut sejarah (lagi-lagi!) nenek-moyang kita berasal dari India Belakang atau Yunan --salah satu provinsi miskin di Cina sekarang–yang kemudian berinteraksi dengan kaum pedagang Gujarat (karena itulah maka kita dikenalkan oleh kaum orientalis sebagai Hindia). Atau estimatika lain: kita dan dan sastra kita sebenarnya merupakan bagian pemberontakan terstruktur yang bercampur-baur dalam proses kebanalan, sehingga menjadi genre berciri khas timur yang eksotis dan penuh dengan misteri.
Sastra dalam masyarakatnya, memang harus hidup tanpa menengahi atau menyingkirkan bidang-bidang kehidupan lainnya, terkecuali politik dan kekuasaan yang berlangsung serba-salah atau berat-sebelah sebab kesusastraan ada (hadir) bukan untuk mengada-ada, melainkan hanya sekadar penanda ingatan kolektif zaman sebelum masyarakat di tempat mana sastra itu tumbuh, terjerumus ke dalam situasi dead man society atau mati suri teladan (Fajrullah, 2004).
Karya-karya para empu di zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di nusantara klasik misalnya, barangkali tidak lebih bernilai susastra daripada karya-karya anonim yang memasyarakat di luar tembok istana. Bukankah belum tentu kitab Kalatida lebih baik secara sastrawi dibandingkan dengan kitab-kitab pasaran tanpa nama terbuat dari daun lontar tua yang dibaca luas rakyat kebanyakan? Atau syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji mungkin tidak lebih cemerlang nilai sastranya ketimbang Zubaidah Sitti dari empu Al Lintani, misalnya?
Seperti banyak juga dikenali ahli sastra yang tidak berambisi menjadikan dirinya termasyhur sebagai sastrawan. Seperti halnya banyak dijumpai ilmu tafsir terhadap naskah-naskah kesusastraan yang kemudian akhirnya mengetengahkan karya sastra ditafsirkan bukan sebagai berhala. ***

Dari Mana Datangnya Sastra



Oleh M ARPAN RACHMAN

...seekor ikan telah berkepak terbang
air itu masih sekeras batu...


Apakah sastra itu seperti ini?
Sultan Ahmad Najamuddin, setelah penyerangannya tidak berhasil, melarikan diri ke daerah pedalaman menggabungkan diri dengan kaum pemberontak di daerah Ogan. Akan tetapi karena ditinggalkan pengikut-pengikutnya, pada bulan Agustus 1825 Sultan menyerahkan diri pada pasukan Belanda.
Atau, inikah sastra?
Politikus tua itu tumbang dari podium lantaran teriakan yel-yel antipati yang dimulai dari suara anaknya sendiri. Di ujung hidupnya, orator ulung itu mati sengsara di jalanan sebagai orang tak bernama.
Mungkin saja sastra yang begini:
Seseorang (entah lelaki atau perempuan) telah gagal dalam seratus wawancara ketika hendak menerima pekerjaan. Ia menghadapi wajah lembut yang itu-itu juga, berkemeja putih polos serupa, di belakang seratus meja yang sama. Sampai wawancara yang sekian kalinya berakhir mengerikan. Pewawancara tewas terkapar di lantai, sebilah pisau tertancap di tenggorokan. Pencari kerja itu pelaku penusukan. Tapi dia akhirnya mendapati sebuah lowongan terbuka untuknya.
Jadi, bagaimana mengenali ciri-ciri khas sastra?
***
Merujuk kamus, sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab yang bukan bahasa sehari-hari. Agaknya definisi ini patut dipertanyakan.
Camkan sekali lagi ketiga contoh ilustrasi di atas. Bahasanya diantarkan melalui cara-cara umumnya seperti orang memakai bahasa Indonesia. Yang tidak mungkin disalahkan, tempatnya (ilustrasi itu) ada di kitabnya masing-masing.
Secara generis atau sederhananya, sastra tidak mungkin secara mudah dibedakan kemudian dipisahkan dengan bahasa sehari-hari. Bila sastra tertera adanya hanya di dalam kitab-kitab yang dituliskan dengan cara lain dari bahasa sehari-hari, apakah demikian cukup (syaratnya) disebut kesusastraan?
Lalu, apa lainnya dan mana yang sama? Siapa sastrawan, siapa bukan?
Di luar kitab, sastra ternyata pernah juga mengenal tradisi lisan. Definisi kamus itu setengah pengertiannya gugur dalam perspektif ini.
***
Ada seorang penyair menilai sebuah puisi. Dikiranya puisi merupakan bidang pengetahuan yang dia kuasai secara ahli. Sebuah puisi karya siswi Sekolah Menengah Atas dikomentarinya tepat pada larik-larik penciptaan.
Mengabaikan kenyataan bahwa larik-larik puisi yang telah dituliskan sebenarnya terdapat bulat-bulat dalam ruang otonom penulisan yang tidak mungkin lagi diganggu gugat orang lain, termasuk kritikus bahkan juga penulisnya sendiri sekalipun!
Lantaran “musuh besar puisi adalah salah cetak,” kata penyair Goenawan Mohamad. Praktik ralat seperti jadi tabu untuk puisi. Proses kreatif menulis puisi agak sama sebangun dengan praktik meluaskan dan meleluasakan imajinasi. Lebih lanjut Goenawan menyebut “menghilangkan puisi (=melenyapkan cara-cara berkreasi) berarti menghina kecerdasan manusia.”
W.S. Rendra mencemooh para penyair romantis yang menulis puisi tentang klangenan, cinta-cintaan, awan-awan, dan rembulan. Tapi dia tidak pernah '“memaksa' Goenawan Mohamad harus menulis dengan gaya seperti penyair Si Burung Merak. Rendra tahu diri tidak mungkin mengoreksi ulang cantuman diksi pada larik-larik puisi milik penyair lain. Walaupun dia bersumpah; “Sampai mati pun saya tidak akan menulis puisi seperti itu!”
***
Siswi SMA di Prabumulih itu entah masih menulis puisi atau sekarang telah patah arang. Tulisan ini ditujukan demi menguatkan semangatnya untuk tidak berhenti menulis hanya lantaran dikritik “komentar miring” yang memperdayakan secara paradigmatik, padahal proses kreatif baru saja dimulainya.
Puisi, dalam sejarahnya, belum pernah menyebabkan kebodohan. Larik puisi yang tertera di awal tulisan ini pun akan mudah dimengerti bila siswa-siswi SMA belum lupa dengan pelajaran biologi dan ilmu fisika.
Sastra barangkali juga sejenis cara 'menghaluskan akal' yang harus dilampaui seseorang dengan cara banyak membaca dan memahami disiplin ilmu pengetahuan lain sebagai penanda penting kecerdasan manusia. Tapi memotong Chairil Anwar, yang tidak masuk akal dan bukan perasa, boleh ikut ambil bagian.
***
Catatan: contoh ilustrasi dikutip dan disarikan
1) Staatkundig Overzicht van Ned Indie 1837 ANRI-1971, halaman 25.
2) Perjalanan ke Z oleh Shapiai Mohd Ramly, 1992.
3) The Golden Bough: Salman Rusdhie dalam Granta 7/1983.