Selasa, 22 Juli 2008

Cronicle

The Rain of July Moon

By Arpan Rachman

Forgive me, lost time by above title of one month. It to be is true cannot excel the title of poem from Sapardi Djoko Damono. On the other hand, I must write in May. However, that month is grilling hot no rain, even dot even also drizzle.

Mister Pardi narrates the simple love, “... to fire making dusty it”. And I do not willing to cite the popular idiom from lip of Cinta Laura, artist of mixture of parent origin from that Germany-Java, “Have muddy, nope there is ojek....”

Palembang, the town in my home address, has been nicknamed by “the Venice of the East”. However, high-rise wooden house pillar two riparian of Musi do not made than concrete of like antique building consecution in Venice.

Peoples of Palembang called to inveterate podium house pillar as “cagak” what stake from wood “tembesu”. Some people recognize as wood pared from one tree “trembesi”. Named “trembesi” perhaps its endurance cause as sturdy as iron.

When WS Rendra tell every poet own house in wind, hence our people recognize the tradition own house in river periphery. I guess, from a long-long time, every country of Musi River, each of the countrified, ancient, and old always built riparian.

We ordinary mention the shares side river periphery as “sea”, while spelled out members great roadside shares “land”. Somebody moment which will take a bath to river for example interrogated “Will where?” surely he reply, “To sea”. On the contrary if going to market or circle at elbow roadway, he of course easy to say, “To land”.

Nevertheless, that tradition individuality totally disappeared almost us town. To left behind, only people from just area above upstream. For a while in number defect the downstream, have more and more seldom be seen by a raft house sticking its pillar into water of Musi River.

In the area go downstream it is true still stand up the market of 16 Ilir, port of Boom Baru, fortress of Kuto Besak, and market of Sekanak which become the omissions a period to ago. Far area of river upstream, riparian kampong of Musi, which is from direction of area Kertapati to area Plaju stand at bay, although with the foundation which almost moulder defeated by epoch.

My father passed away, what is in its teen-age have worked as tekeenaar (marker) at Geologische Afdeling (part of geology) in Bataafsche of Petroleum Maatschappij (oil company Dutch), telling a story that origin of name Plaju: a refinery area in the cross upstream, taken away from by the one few leaves only tree. That tree live the near by port of Boom Bawah Skendal, place of ship of pontoon of conveyor of oil labour defect to come home. That tree bear fruit and its fruit named “fast fruit”.

However, as my father passed away, that tree also nowadays omit the name. Moreover, I pray to them in the middle of rapid rain of July moon.

Selasa, 15 Juli 2008

Kronika

Hujan Bulan Juli

oleh M Arpan Rachman

MAAFKAN; judul di atas terlambat sebulan. Jadinya memang tak bisa mengungguli judul puisi Sapardi Djoko Damono. Atau, mestinya saya menulis di bulan Mei. Tapi bulan itu panas terik tiada hujan, meski setitik pun gerimis.

Pak Pardi menceritakan cinta sederhana, “...seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Dan saya tak mau mengutip idiom populer dari bibir Cinta Laura Kiehl, artis sinetron blasteran Jerman-Jawa itu, “Sudah becek, nggak ada ojek....”

Palembang; kota di alamat rumah saya, pernah dijuluki Venice of the East. Tapi tiang rumah-rumah kayu bertingkat dua di tepi Sungai Musi tidak terbuat dari beton seperti deret bangunan tua di Venesia.

Tiang rumah panggung yang lazim disebut orang Palembang sebagai cagak dipancang dari kayu tembesu. Sebagian orang lumrah mengenalnya sebagai kayu yang dikupas dari sebatang pohon trembesi. Dinamakan “trembesi” barangkali lantaran daya tahannya sekokoh besi.

Bila Rendra mengatakan penyair berumah di angin, maka orang kami mengenal tradisi berumah di pinggir sungai. Sepanjang negeri di lintas alur Sungai Musi, perkampungan tua, kuno, dan lama selalu bergalur di tepiannya.

Kami biasa menyebut bagian sebelah pinggir sungai sebagai “laut”, sedangkan bagian sisi jalan raya dibilang “darat”. Saat seseorang yang hendak mandi ke sungai misalnya ditanya, “Mau ke mana?” pasti dia menjawab, “Ke laut.” Sebaliknya kalau pergi ke pasar atau kalangan di dekat jalan raya, dia tentu enteng berkata, “Ke darat.”

Tapi ciri khas tradisi itu hampir punah di kota kami. Yang bertahan, hanya orang-orang dari kawasan seberang ulu. Sementara di bilangan seberang ilir, sudah makin payah melihat ada rumah-rumah rakit yang menempelkan tiangnya ke cipak air Sungai Musi.

Di seberang ilir, tinggal Pasar 16 Ilir, Pelabuhan Boom Baru, Benteng Kuto Besak, dan Pasar Sekanak yang jadi landmark masa silam. Jauh di ulu, kampung-kampung tepi sungai masih bertahan walaupun dengan pondasi yang hampir lapuk tergerus zaman.

Mendiang orang tua saya, yang di masa remajanya pernah bekerja sebagai tekeenaar (juru gambar) di Geologische Afdeling (bagian geologi) di Baatafsche Petroleum Maatschappij (maskapai perminyakan Belanda), bercerita bahwa asal nama Plaju: sebuah kawasan kilang minyak di seberang ulu, diambil dari sebatang pohon yang rindang. Pohon itu hidup dekat Boom Bawahskendal, tempat kapal ponton pengangkut buruh-buruh minyak menyeberang pulang. Pohon itu berbuah dan buahnya dinamakan “buah pelaju”.

Tapi seperti almarhum, pohon itupun kini tinggal namanya saja. Dan saya baru saja berdoa untuk mereka di tengah hujan bulan Juli.

Kamis, 10 Juli 2008

Utik

Resensi Buku

Ya Salam..., Almustafa

oleh M Arpan Rachman

Judul: Almustafa

Penulis: Kahlil Gibran

Diterjemahkan dari The Prophet

Alfred Knopf, Inc., New York, 1923

Cetakan Pertama Edisi Hardcover, Februari 2008

Penerjemah: Sapardi Djoko Damono

Penerbit: Bentang

viii+124 halaman; 15 cm

ISBN 978-979-1227-21-6

Aku adalah pencari keheningan, dan harta apakah yang kudapat dari keheningan itu sehingga dengan yakin aku bisa membagi-bagikannya? (halaman 5)

Dia lelaki asing: perantau yang terdampar dari sebuah kapal. Lantaran keluasan wawasannya yang seperti lautan, Almustafa dianggap orang suci oleh seluruh penduduk kota Orphalese.

Walau awalnya lelaki itu dipandang sebelah mata, kecuali oleh seorang peramal bernama Almitra yang menganggapnya sebagai utusan Tuhan. Sejak itu pula ia dihormati seperti aulia tanpa dosa.

Tapi yang diingini seluruh perantau, juga Almustafa, adalah kembali ke rumah dan pulang kampung. Tatkala rasa rindu mencekamnya supaya berangkat pergi dari kota itu, penduduk menahannya untuk berkhotbah.

Khutbahnya panjang-lebar, nyaris tentang segala hal: cinta, perkawinan, anak-anak, sedekah, makan dan minum, kerja, suka dan duka, rumah, pakaian, jual-beli, kejahatan dan hukuman, kemerdekaan, akal dan nafsu, kepedihan, kesadaran diri, pengajaran, persahabatan, ihwal bicara, makna waktu, baik dan jahat, doa, kepuasan, keindahan, agama, dan maut.

Jika semua yang kukatakan adalah kebenaran, kebenaran itu sendiri akan mengungkapkan dirinya dengan suara yang lebih jelas, dan dengan kata-kata yang lebih dekat dengan pikiranmu (halaman 107).

Selamat tinggal penduduk Orphalese, batinnya.

***

BUKAN kebetulan jika Sapardi Djoko Damono, sastrawan terkenal Indonesia, ahli sastra Jawa, yang menerjemahkan karya Kahlil Gibran. Bahasa Jawa, yang dikuasai secara ahli oleh Damono, juga memuat banyak tingkat “eufe-mistik” (eufemisme separuh mistik) layaknya bahasa Arab. Kehalusan tersirat perpaduan nuansa Jawa-Arab tersanding baik dalam kisah Almustafa.

Meski Gibran pertama kali dulu menulis karyanya ini dengan bahasa Inggris. Namun aksentuasi Arabisme, tanah moyangnya, lekat bersemayam dalam ubun-ubun penyair Lebanon yang hijrah ke Amerika. Wawasan “author’s authority” (kekuasaan pengarang) itulah yang muncul di pelbagai karyanya tanpa ada satupun yang terkecuali.

Sekadar komentar, menyitir ungkapan penerjemah,

“Terjemahan ini bisa saja dianggap sebagai komentar terhadap sejumlah terjemahan yang sudah beredar, namun sekaligus dan lebih dari itu saya mengharapkannya mampu menampung pengungkapan yang, meskipun populer, memiliki kekuatan yang memaksa kita untuk mempertimbangkan kembali berbagai konvensi sosial dan moral yang selama ini kita ciptakan untuk kita yakini.”

Kahlil Gibran ciptakan mimpi. Kita tidur nyenyak. Zzz....

Utik

Resensi Buku

Ya Salam..., Almustafa

oleh M Arpan Rachman

Judul: Almustafa

Penulis: Kahlil Gibran

Diterjemahkan dari The Prophet

Alfred Knopf, Inc., New York, 1923

Cetakan Pertama Edisi Hardcover, Februari 2008

Penerjemah: Sapardi Djoko Damono

Penerbit: Bentang

viii+124 halaman; 15 cm

ISBN 978-979-1227-21-6

Aku adalah pencari keheningan, dan harta apakah yang kudapat dari keheningan itu sehingga dengan yakin aku bisa membagi-bagikannya? (halaman 5)

Dia lelaki asing: perantau yang terdampar dari sebuah kapal. Lantaran keluasan wawasannya yang seperti lautan, Almustafa dianggap orang suci oleh seluruh penduduk kota Orphalese.

Walau awalnya lelaki itu dipandang sebelah mata, kecuali oleh seorang peramal bernama Almitra yang menganggapnya sebagai utusan Tuhan. Sejak itu pula ia dihormati seperti aulia tanpa dosa.

Tapi yang diingini seluruh perantau, juga Almustafa, adalah kembali ke rumah dan pulang kampung. Tatkala rasa rindu mencekamnya supaya berangkat pergi dari kota itu, penduduk menahannya untuk berkhotbah.

Khutbahnya panjang-lebar, nyaris tentang segala hal: cinta, perkawinan, anak-anak, sedekah, makan dan minum, kerja, suka dan duka, rumah, pakaian, jual-beli, kejahatan dan hukuman, kemerdekaan, akal dan nafsu, kepedihan, kesadaran diri, pengajaran, persahabatan, ihwal bicara, makna waktu, baik dan jahat, doa, kepuasan, keindahan, agama, dan maut.

Jika semua yang kukatakan adalah kebenaran, kebenaran itu sendiri akan mengungkapkan dirinya dengan suara yang lebih jelas, dan dengan kata-kata yang lebih dekat dengan pikiranmu (halaman 107).

Selamat tinggal penduduk Orphalese, batinnya.

***

BUKAN kebetulan jika Sapardi Djoko Damono, sastrawan terkenal Indonesia, ahli sastra Jawa, yang menerjemahkan karya Kahlil Gibran. Bahasa Jawa, yang dikuasai secara ahli oleh Damono, juga memuat banyak tingkat “eufe-mistik” (eufemisme separuh mistik) layaknya bahasa Arab. Kehalusan tersirat perpaduan nuansa Jawa-Arab tersanding baik dalam kisah Almustafa.

Meski Gibran pertama kali dulu menulis karyanya ini dengan bahasa Inggris. Namun aksentuasi Arabisme, tanah moyangnya, lekat bersemayam dalam ubun-ubun penyair Lebanon yang hijrah ke Amerika. Wawasan “author’s authority” (kekuasaan pengarang) itulah yang muncul di pelbagai karyanya tanpa ada satupun yang terkecuali.

Sekadar komentar, menyitir ungkapan penerjemah,

“Terjemahan ini bisa saja dianggap sebagai komentar terhadap sejumlah terjemahan yang sudah beredar, namun sekaligus dan lebih dari itu saya mengharapkannya mampu menampung pengungkapan yang, meskipun populer, memiliki kekuatan yang memaksa kita untuk mempertimbangkan kembali berbagai konvensi sosial dan moral yang selama ini kita ciptakan untuk kita yakini.”

Kahlil Gibran ciptakan mimpi. Kita tidur nyenyak. Zzz....

Rabu, 02 Juli 2008

Kronika

Anasir Jahat dalam Kesenian

oleh M Arpan Rachman

BAGAIMANA karya seni jadi alasan yang masuk akal? Sulitkah teater dilogikakan?

Teater tanpa Manajemen

AP Bayu menulis artikel berjudul Membaca Teater Hari Ini di harian lokal dalam grup Jawa Pos News Network (18/5/2008). Dipinjamnya mulut tokoh Atmadi untuk menyatakan pikiran tentang tiga persoalan.

Pertama, katanya, “Teater tanpa manajemen dia akan seperti kuda pusing di dalam pasar malam”. Jadi, grup teater idealnya toleran dengan orientasi bisnis dan massal melalui pengetahuan ekonomi-sosial secara luas. Ilmu itu tentunya mudah diterapkan oleh spesialis yang berkompeten.

Di satu sisi, manajemen seni pertunjukan hari ini di Tanah Air lihatlah tetap mengusung semangat gotong-royong kebersamaan mirip lima belas tahun silam. Ada misalnya para pengharap dana pariwisata, tapi banyak pula yang tidak. Ada yang berhubungan erat dengan penguasa dan pihak asing, namun ada juga yang tidak.

Pameran lukisan, diskusi novel, dan pementasan teater merupakan seni pertunjukan yang dikelola baik. Pelukis, novelis, dan para dramawan gigih melawan siasat, aksi, dan intrik di luar produksi karya dari para penggelap sejarah, penjahat asal-usul, bandit seni yang mengoncer ponjen dana kesenian dalam mata pasal APBD/APBN, dan kolaborator penguasa yang bermain di taring hegemoni pusat-pusat Balai Bahasa.

Pameran lukis, diskusi novel, pentas teater jadi pertunjukan rendah hati yang menjaga pelbagai kota dan provinsi lokal dari kesombongan “budaya tinggi” yang sok pintar. Arogansi budaya sempalan itu berpotensi mengelirukan logika dengan cara mengantarkan teori-anti-teori kepada khalayak, lewat misalnya sebuah artikel di koran.

Sementara itu, stok keuntungan finansial dan penikmat baru di dunia teater hari ini mungkin masih saja dimayoritasi oleh siswa, pelajar, mahasiswa, selebihnya kalangan tanpa juntrungan identitas. Penonton jenis “sekolahan” bahkan ada yang diduga muncul lantaran “dipaksa” guru untuk mengerjakan “tugas” kesenian. Sedangkan pendatang baru, karcis, dan sponsor barangkali terus merupakan tiga anasir jahat dalam teater modern di Indonesia.

Teater Berhadapan Film dan Sepakbola

KEDUA dan ketiga – kata Bayu – teater saat ini berhadapan dengan film-film Amerika, India, Hongkong, plus sinetron di televisi, tari perut, triping..., juga sepakbola. Dilogikakan “berhadapan”, maka bukan saat ini saja, melainkan teater sejak dulu kala berhadapan dengan film domestik/asing, olahraga, dan lain-lain.

Tapi penonton teater, film, sepakbola masing-masing sangat mungkin berbeda orangnya. Bijakkah dan elokkah kiranya bila kita memperhadapkan teater-film-sepakbola dengan cara menyimpan kesan bahwa film, sepakbola, dan lain-lain itu merupakan “kompetitor mumpuni” bagi teater?

Sementara kaca besar dari fenomena konsumerisme memantulkan wajah chaos dalam jagad karya seni di masyarakat kita hari ini. Tenggelamnya Titanic jadi sejarah, sedangkan film cinta yang merendengi insiden karamnya kapal itu adalah sejarah lain. Maka, jangankan memperhadapkan karya-karya di bidang sosial-ekonomi berbeda yang dipertunjukkan dengan cara yang tak sama. Karya sama yang dimodifikasi lalu diunjukkan dengan cara berbeda pun menghadapi dilema. Mana yang lebih unggul? Atau lebih baik dan benar?

Novel Ayat-ayat Cinta apa sebanding antara buku dengan filmnya? Apa ada fakta keterkaitan antara enterpreneur Adrie Subono (keponakan BJ Habibie) saat hendak mendatangkan rapper Eminem dengan dilarangnya Denada Tambunan menyanyikan lagu hip-hop oleh Habibie saat jadi Presiden?

Pernahkah Anda membaca trilogi JRR Tolkien tentang perjalanan jauh empat hobbit asal Shire untuk melemparkan cincin kutukan ke gunung api? Secara pribadi, menurut hemat saya, buku terjemahannya bertele-tele, melulu berkisah tentang perjalanan setengah tamasya separuh petualangan, dipermainkan tempo menyenangkan-mencekam yang silih-berganti penuh suspensi. Namun tiga film sekuel the Lord of the Ring yang kolosal mengudak-aduk emosi dan kocek penonton bioskop dan DVD bajakan.

***

SENI pertunjukan yang banyak massanya, menguntungkan secara ekonomis, dan bahkan politik, diselenggarakan oleh event organizer zaman Romawi. Mereka mengundang penonton datang ke Koloseum. Anak-anak, remaja, perempuan, ibu-ibu, dan orang tua menonton riuh-ribut dan melupakan sejenak persoalan hidup mereka. Di tempat lain, para lelaki kuat, kecuali para budak gladiator, saat itu bertempur di negeri-negeri yang jauh lantaran watak agresif Imperium Roma menjajah dunia.

Di tribun Koloseum, sekeping memori – tentang ayah yang gugur di medan perang, kekasih yang dijemput maut di Anatolia, lelaki yang pergi tak jua pulang dari Turki, kaum suami yang tak tentu rimbanya di Asia Kecil, dan remaja yang kehilangan orang tua – sesaat terhapuskan, tatkala roti-roti dilemparkan dari podium ke segala arah penonton yang berperut lapar.

Hingga detik ini, suka atau tidak, seni pertunjukan ala Romawi telah menghiasi hidup sebagian orang kita. Seni pengekornya kemudian jadi hilang pesona. Apa menariknya kesenian yang diproyekkan penguasa?

Kekuasaan selalu memproyeksikan kebudayaan. Yang menolak arogansi tersebut, terpaksa menerima nasib buruk, tak pernah dibagi proyek. Tapi, mungkin tak apa-apa, sebab yang melawannya masih banyak berderet ke belakang. Deret itu pasti beralih posisi sejajar, berpindah tempat, merebut senjata kekuasaan dengan revolusi.

Yang patut diusut nanti, adalah para pengelompok definisi. Mereka termasuk yang mengatakan bahwa teater, film, dan sepakbola tak lebih seperti “para pengamuk” yang harus bertempur satu sama lain demi enaknya nafsu berkuasa. Mereka pikir, seninya terjadi saat gladiator bertanding dan roti dilemparkan. Mereka juga berpikir, kita tak lebih dari serabut otak dan keringat yang hanya mencari makanan dan mainan. Salah seorang dari yang bernafsu itu pernah menulis logika irrasional di koran grup JPNN beberapa waktu lalu.*