Selasa, 15 Juli 2008

Kronika

Hujan Bulan Juli

oleh M Arpan Rachman

MAAFKAN; judul di atas terlambat sebulan. Jadinya memang tak bisa mengungguli judul puisi Sapardi Djoko Damono. Atau, mestinya saya menulis di bulan Mei. Tapi bulan itu panas terik tiada hujan, meski setitik pun gerimis.

Pak Pardi menceritakan cinta sederhana, “...seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Dan saya tak mau mengutip idiom populer dari bibir Cinta Laura Kiehl, artis sinetron blasteran Jerman-Jawa itu, “Sudah becek, nggak ada ojek....”

Palembang; kota di alamat rumah saya, pernah dijuluki Venice of the East. Tapi tiang rumah-rumah kayu bertingkat dua di tepi Sungai Musi tidak terbuat dari beton seperti deret bangunan tua di Venesia.

Tiang rumah panggung yang lazim disebut orang Palembang sebagai cagak dipancang dari kayu tembesu. Sebagian orang lumrah mengenalnya sebagai kayu yang dikupas dari sebatang pohon trembesi. Dinamakan “trembesi” barangkali lantaran daya tahannya sekokoh besi.

Bila Rendra mengatakan penyair berumah di angin, maka orang kami mengenal tradisi berumah di pinggir sungai. Sepanjang negeri di lintas alur Sungai Musi, perkampungan tua, kuno, dan lama selalu bergalur di tepiannya.

Kami biasa menyebut bagian sebelah pinggir sungai sebagai “laut”, sedangkan bagian sisi jalan raya dibilang “darat”. Saat seseorang yang hendak mandi ke sungai misalnya ditanya, “Mau ke mana?” pasti dia menjawab, “Ke laut.” Sebaliknya kalau pergi ke pasar atau kalangan di dekat jalan raya, dia tentu enteng berkata, “Ke darat.”

Tapi ciri khas tradisi itu hampir punah di kota kami. Yang bertahan, hanya orang-orang dari kawasan seberang ulu. Sementara di bilangan seberang ilir, sudah makin payah melihat ada rumah-rumah rakit yang menempelkan tiangnya ke cipak air Sungai Musi.

Di seberang ilir, tinggal Pasar 16 Ilir, Pelabuhan Boom Baru, Benteng Kuto Besak, dan Pasar Sekanak yang jadi landmark masa silam. Jauh di ulu, kampung-kampung tepi sungai masih bertahan walaupun dengan pondasi yang hampir lapuk tergerus zaman.

Mendiang orang tua saya, yang di masa remajanya pernah bekerja sebagai tekeenaar (juru gambar) di Geologische Afdeling (bagian geologi) di Baatafsche Petroleum Maatschappij (maskapai perminyakan Belanda), bercerita bahwa asal nama Plaju: sebuah kawasan kilang minyak di seberang ulu, diambil dari sebatang pohon yang rindang. Pohon itu hidup dekat Boom Bawahskendal, tempat kapal ponton pengangkut buruh-buruh minyak menyeberang pulang. Pohon itu berbuah dan buahnya dinamakan “buah pelaju”.

Tapi seperti almarhum, pohon itupun kini tinggal namanya saja. Dan saya baru saja berdoa untuk mereka di tengah hujan bulan Juli.

2 komentar:

ERWAN SURYANEGARA mengatakan...

Siip..oii, kalu kami di ulu...rumah panggung tu di tegakkan agak ke darat

Arpanrachman mengatakan...

Respek saya atas sudinya kakanda mengunjungi blog dinda ini. Terima kasih atas penjelasannya, salam manis buat Komunitas Kalidoni.