Senin, 30 Juni 2008

Nisbinya Jatidiri Buruh Perempuan

Resensi Buku

Nisbinya Jatidiri Buruh Perempuan

oleh M Arpan Rachman

Judul: Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan Hidup di Kota – Balada Buruh Perempuan

Penulis: Aris Arif Mundayat, Erni Agustini, Keppi Sukesi, Margaret Aliyatul M.

Penerbit: Woman Research Institute

Edisi: Cetakan I, April 2008

Ukuran: 15x22 cm

Isi: viii + 193 halaman

ISBN: 978-979-99305-7-6

PEREMPUAN ikut terbawa arus urbanisasi dari desa ke kota. Mereka jadi buruh di pabrik-pabrik kawasan industri. Para buruh perempuan keluar dari alam dan lembah kerentanan ekonomi perdesaan, lalu bertahan hidup di kota yang asing bagi mereka. Sejumlah masalah yang sulit diatasi, kemudian muncul dalam relasi survivalitas yang unik antara perempuan asal desa dengan profesi buruh yang mereka sandang di kota.

Seperti kasus Enong (24), buruh perempuan asal Desa Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten, yang bekerja di pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Tanjung Priok, Jakarta (halaman 69-102).

Enong hamil tapi mengalami keguguran. Kondisi buruh perempuan itu dilindungi UU Ketenagakerjaan No 13/2003. Tapi Pasal 82 ayat 2 UU itu memang hanya menyebut, “pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter atau bidan”. Jadi, bagian personalia di perusahaan tempatnya bekerja menampik untuk membayar upahnya selama Enong tidak bekerja saat kandungannya gugur.

Di sisi lain, pengetahuan buruh perempuan tentang kesehatan reproduksi tampaknya masih amat terbatas. Sedangkan keterbatasan akses informasi buruh perempuan tentang kesehatan reproduksi makin diperparah oleh sikap pengusaha yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi.

***

SELENGKAPNYA ada empat studi kasus yang dilakukan para peneliti dari Women Research Indonesia. Mereka menyorot “dunia” buruh perempuan dengan kacamata metode feminis.

Lima locus dijejaki sejak Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, KBN Tanjung Priok, Kawasan Jababeka, Kawasan Cibitung Bekasi, sampai pabrik rokok di Jawa Timur. Masalah yang dicermati ialah pendidikan dan kesadaran hak-hak buruh, kesadaran tentang perlindungan kesehatan reproduksi, sistem perburuhan dalam kaitan dengan kesejahteraan buruh perempuan, buruh perempuan dan organisasi buruh pasca-Reformasi, konstruksi gender dalam kerja/dunia industri.

Bagaimana buruh perempuan keluar dari dunia agraris, lalu menyesuaikan diri dengan lingkungan industrial? Apa strategi mereka bertahan di kota besar? Di mana perempuan memosisikan diri ketika berangkat meninggalkan desa menuju kota?

Sebagai salah satu khazanah tafsir, judul “Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan Hidup di Kota” berisi siratan bahwa buruh perempuan harus mengatakan sebuah pilihan. Tagline buku ini ditulis “...sangat penting sebagai referensi untuk kepentingan akademik dan advokasi”.

Buruh perempuan seperti ribuan kunang-kunang menggemerlapkan malam. Mereka hidup risau dalam jatidiri yang berubah jadi nisbi.

Pengirim:

M Arpan Rachman

0711 9104419

Selasa, 17 Juni 2008

Musi Terus Mengalir


Oleh M ARPAN RACHMAN
Terbitnya Majalah Kebudayaan Musi Terus Mengalir oleh Komunitas Kalidoni menjadi kabar menggembirakan. Terlepas dari mana sumber dananya, wadah pengembangan kreatifitas penulis dan seniman itu merupakan ruang besar bagi tampilnya nama-nama baru di jagad tulis Palembang.
Semangat yang ingin ditularkan dari terbitnya majalah kebudayaan yang secara serius melakukan studi kritis adalah terbukanya kesempatan dan kemungkinan yang baru, mendalam, jauh, dan lain. Efeknya, akan berkembang menjadi telaah yang teliti tentang kebudayaan yang di dalamnya sarat bergulatnya muatan lokal. Soalnya budaya sendiri secara definitif lebih menginginkan kemampuan analisa dan evaluasi dari para pengupasnya, dan bukan sekaear penganut paham fanatiknya belaka. Dalam hal ini, kemudian, majalah kebudayaan mestinya sudah ada sejak negeri ini dipetakan sebagai provinsi di belah selatan Pulau Perca.
***

Selama ini, secara nasional, sudah tersohor beberapa jurnal dan majalah semi-populer yang rutin mengupas aspek budaya seperti Horison, Kalam, dan Prisma --yang sudah meninggal dunia.
Horison, terbitan Yayasan Indonesia, berupa majalah sastra satu-satunya di tanah air setelah Sastra dan Kisah tidak terbit lagi. Di majalah itu, beberapa waktu lalu, terjadi kisruh perseteruan sengit antara blok Goenawan Mohamad versus Taufiq Ismail, yang akhirnya dimenangi Taufiq dengan cara menyingkirkan nama Goenawan dari catatan sejarah Horison dan mendudukkan nama istrinya, Ati Ismail, sebagai Sekretaris Redaksi, hingga sekarang.
Sementara Jurnal Kalam merupakan eksistensi sebuah mercu suar independen ditopang kesolidan Komunitas Utan Kayu, yang dimotori Goenawan Mohamad. Jurnal ini lebih pekat dengan nuansa olah-pikir alternatif dari berbagai ahli lintas-budaya maupun lintas-negara dengan senjata utama bertumpu pada kekuatan seni rupa.
Tersebutlah beberapa nama lagi jurnal budaya lain seperti yang pernah terbit di Depok, Surabaya, Denpasar, Padang, Tegal, Yogyakarta, dan Bandung. Jurnal-jurnal kebudayaan versi lokal tersebut pada perjalanannya tetap setia hidup seperti bonsai (bukan kerdil) dan mengenyahkan ambisi untuk jadi besar. Sayang sekali, napas terbitan berkala jurnal-jurnal model swadaya itu banyak yang tak panjang.
Ada yang mati muda tanpa meninggalkan berkas-berkas olah-pikir yang penting. Ada juga yang mati suri, tapi meninggalkan warisan ide berlian. Banyak yang menyisakan pekerjaan rumah untuk dieksplorasi lagi idenya lewat kajian yang lebih ilmiah.
Jurnal semacam itu, di sisi lain, mungkin memiliki kelemahan, yakni pengelolanya tidak dibekali napas panjang dan bersandar kepada ilmu siasat ala kadarnya. Mereka hanya bermodal semangat hebat, yang kelirunya malah sering terlalu menggebu-gebu hingga melebihi modal napas, siasat, dan ilmu pengetahuan mereka sendiri.
Contohnya, aliran ide Revitalisasi Sastra Pedalaman pada dekade 1990-an dari Sosiawan Leak asal Tegal, yang menempuh jalan buntu kegagalan akibat ditinggalkan para penggemar dan pengikutnya sendiri. Contoh sejenis itu di tanah air ini dapat diukur dalam deret hitung yang panjang.
***

Wadah penampil kreasi gagasan seni-budaya dalam skala lokal, secara jujur atau tidak jujur --haruslah diakui jarang yang mampu menjadi penyuluh strategi kemanusiaan yang logis dan mudah diikuti oleh seluruh seniman. Idealnya, secara manusiawi, memang harus ada pihak yang menolak, lantaran kalau ada buah yang jatuh dari sebatang pohon kebudayaan lalu seluruh seniman memungutnya tanpa mau berbeda ideologi lagi, maka terjadilah seperti awal pengetahuan bertemu dengan ujungnya. Dan dunia ini selesai, semua masuk surga. Akhirnya yang disuarakan cuma spiritual model omong kosong gaib, yang justru tidak diterima bumi.
Majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir diharapkan menjamin akurasi tak meleset untuk (meminjam istilah religius) menentukan arah kiblat bagi para seniman demi mengukuhkan ciri identitas khas mereka yang jadi bagian komunitas sosial. Tanpa pikir panjang, Musi Terus Mengalir merupakan destinasi kebaikan bagi seniman Sumsel. Dalilnya sesuai lirik lagu populer duet Broery Pesolima dan Dewi Yull, “Jangan ada dusta di antara kitaaa...” Kejujuran para pengusung aliran kebudayaan yang menyandingkan gagasan lewat majalah itu, hendaknya dikuatkan oleh faktor vital untuk melawan ketidakjujuran aliran kehidupan lain.
Edisi perdana majalah dari Komunitas Kalidoni menampilkan kuatnya kekayaan khasanah intelektual yang terpantul dari nuansa kerja serius yang tajam seperti belati Palembang dan begitu dalam seperti lubuk Sungai Musi. Misalnya, apa yang tersurat dalam kajian Maslow ternyata dapat dipikir-pikir panjang secara berulang-ulang, lalu disajikan sebagai menu istimewa yang jadi kontemplasi cerdas tentang ikan-ikan Sungai Musi dalam pinggan esai Taufik Wijaya bin Kemas Muhammad Bachtiar.
Artikelnya memberi pencerahan berharga kepada pembaca supaya melihat apa yang tersirat. Berikutnya, ikon-ikon grafis manis karya Erwan Suryanegara bertebaran di sekujur halaman majalah, membentuk semacam keping-keping puzzle yang mengagumkan bagi para pecinta teka-teki anagram dalam semangat lukis-sketsa.
***
Musi Terus Mengalir mungkin ide awalnya digagas di siang hari beberapa bulan purnama puasa silam, saat mengobrol santai di lobi Hotel Quality Daira Palembang antara aktivis Nia Sjarifuddin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) dengan T Wijaya bin M Bachtiar dari Kalidoni. Ketika itu, mereka mengobrol antusias.
Secara patuh dan menyimaknya lekat-lekat, saya hanya ikuti sebagai pendengar setia sembari menahan diri agar tidak berdosa lantaran sedang menjalani ibadah Ramadhan. Kini, ide itu jadi kenyataan, betapa senangnya. Tapi di edisi kedua, tak tercantum lagi ANBTI, barangkali kolaborasi itu putus setelah edisi pertama diterbitkan.
Terbitnya majalah, sama persis dengan timbulnya matahari pagi. Di sana ada kepastian, bahwa keluhuran sebatang hari pasti terjaga. Ia berpotensi kuat menyetrum olah-pikir yang gilirannya memacu olah-tindak demi mematangkan strategi kebudayaan. Misalnya, demi memperjuangkan nasib para seniman atas nama prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diratifikasi Indonesia dan berlaku juga di Sumatera dan kota pempek, Palembang.
Kewibawaan disandang kebudayaan. Apalagi bila ditunjang ilmu pengetahuan yang tersebar luas pada khalayak.
Artikel, esai, tinjauan, kajian, dan karya yang mengisi budaya-tulis hendaknya memenuhi syarat layaknya sebuah proses penelitian di laboratorium. Kaum seniman tidak usah takut mencari inspirasi seperti memegang tabung reaksi, garpu tala, dan bejana, tanpa berpikir bahwa sesuatu akan meledak di luar sana agar napas sungai Musi (terus) Mengalir panjang.
***
Dari namanya, diketahui, majalah ini mengambil nama sungai terbesar di Pulau Sumatera. Bila surut, air di Sungai Musi mengalir ke hilir, ke arah muara Sungsang. Saat pasang, airnya menjauh ke hulu, ke arah Ulu Musi, tempat mata air Sungai Musi berada di kaki Gunung Dempo. Pasang bertanda air dari laut di Selat Bangka memasuki Muara Sungsang, dan segera melimpahi sungai dengan debit air yang ruah. Surut berkata air laut di Selat Bangka susut dan meminta tambahan debit dari Sungai Musi. Pasang-surutnya majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir menghiasi dinamika kebudayaan di Negeri Batang Hari Sembilan.
***

Rasio Sastra, Mengenang Pramoedya Ananta Toer


Oleh M ARPAN RACHMAN
“Setiap manusia yang hidup akan menemui kematian…”
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang menjelma bagai sebuah ikon tentang kebebasan yang dibungkam. Sebagai pengarang, dia mendapatkan nama besar dari penjara ke penjara, menjadi orang hukuman. Mula-mula dijebloskan pada Aksi Militer I Belanda, kemudian ditahan dan dibuang oleh rezim yang pernah berkuasa di Indonesia.
Di penjara lahir sebagian besar cerita-ceritanya yang terbaik. Cerita-cerita itu antara lain telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Banyak silang-sengketa masih meliputi sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai pribadi. Apa sebenarnya alasan rezim penguasa sampai membuangnya ke dalam kamp konsentrasi di Pulau Buru?
“Memiliki seorang pengarang besar bagi rezim yang berkuasa, sama halnya dengan mempunyai sebuah pemerintahan yang lain,” kata Alexander Solzhenitzyn, sastrawan Rusia yang juga pernah dibuang penguasa. Mungkin saja terpenjaranya pramoedya dan Solzhenitzyn dapat dihubungkan: karena sama-sama mempunyai nama besar sebagai “pemerintahan yang lain” yang mengeluarkan komunike melalui karya-karya sastra. Dan pertanyaan tersebut dianggap terjawab.
Membaca kumpulan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer berjudul Percikan Revolusi+Subuh ternyata dapat juga menerbitkan rasa haru yang mendalam. Cerpen-cerpen yang dalam kata pengantar HB Yassin, “…terkarang semasa pengarang(nya) berada dalam tahanan semenjak aksi militer-I tanggal 21 Juli 1947 sampai tahun 1949.”
Memadukan dua judul kumpulan berbeda yang pertama kali terbit di tahun 1951. Berisi dua belas judul cerpen yang ditulis dalam langgam ekspresif: karya pengarang kawakan yang pada suatu zaman buah pikirannya pernah diberangus dan dilarang karena dianggap subversif dan melawan kekuasaan.
Beberapa di antara cerpen-cerpen itu sarat dengan muatan aspek religiusitas yang seperti mengesahkan diktum: pada awal mula, segala sastra adalah religius (YB Mangunwijaya, 1992). Muncul firasat pramoedya akan akhirat, misalnya …Sekiranya kulit bumi ini merendah dan kemudian air samudera menggenang dahsyat–manusia akan seperti semut disiram air panas…(halaman 28: cerpen berjudul Gado-gado) yang menyiratkan nuansa tentang hari kiamat.
…Peluru musuh yang seperti kunang-kunang beterbangan, tak sebuah pun yang mengenainya. Tuhan masih melindungi…(60: Ke Mana) yang mengandung pengertian bahwa sang tokoh adalah orang yang mempercayai adanya kekuatan Yang Maha Kuasa.
Atau, …Dengan tiba-tiba saja mereka yakin akan adanya Tuhan… (69: Kemelut). Tokoh Abdul dan Maliki adalah dua nama Islami (75: Masa). Percakapan antara Karel dan Willem: dua orang Nasrani (81-97: Orang Baru).
…Dan barulah aku mengerti: ia bersembahyang…(104: Kawanku Se-Sel).
…Tapi yang aneh: doa dan harapanku supaya tak lagi bertemu dengannya terkabul. Aku telah berdosa padanya… (167: Jalan Kurantil 28).
…Dan Tuhan yang satu dan tak terpecah-belahkan itu dipinta untuk memenangkan dua pihak yang bunuh-membunuh: puncak kebebalan manusia! (180: Dendam).
Cerpen-cerpen itu bercerita banyak tentang religiusitas sebagai bagian gagasan yang hendak disampaikan pengarangnya. Terlepas dari masih adanya silang-sengketa sementara kalangan terhadap pramoedya Ananta Toer yang dulu pernah dihujat karena ditengarai mengekang kebebasan sesama sastrawan. Sekarang di jalan-Nya yang lapang, tentu Pram dengan sendirinya termaafkan.
Rasio yang dapat dijadikan sebagai kacamata mikroskopis tentang sastra yang merupakan wujud emblematik kebudayaan literer yang hidup di dalam masyarakat sekaligus sebagai locus genus bermuara pada khasanah budaya Melayu karena dari kebudayaan tersebut bangsa Indonesia memiliki bahasa ibu, yakni dengan menerapkan karya sastra menjadi logos keilmupengetahuanan bagi generasi muda sejak usia dini sebab dengan cara itulah sastra benar-benar bisa menjadi hak-milik intelektual yang dapat diteoretisasikan dan dipraktikkan serta dipelajari dan diabadikan.
Bangsa yang besar ini tentu tidak ingin mengulangi sejarah buruk berbagai khasanah budaya sastra tutur yang diliterasikan secara oral pada zaman dahulu kala, tetapi jangankan gagasan menjadikannya sebagai salah satu materi pembelajaran untuk umum, bahkan upaya-upaya pendokumentasiannya pun seringkali tidak kunjung dilakukan secara teliti dan memadai, sehingga banyak karya dari khasanah budaya tersebut akhirnya hilang ditelan zaman.
Bila pandangan negatif seperti yang dikatakan Solzhenitzyn terus dibiarkan, secara ironis karya kesusastraan termasuk cerpen-cerpen pramoedya Ananta Toer akan tinggal sebagai artefak budaya akulturasi belaka: karya-karya kesusastraan yang dilestarikan oleh orang asing di dalam museum dan ruang pembicaraan publik di negeri mereka saja.
Tetapi sejarah perunutan kelestarian sebuah karya, terutama karya-karya kesusastraan, tidak mungkin dapat menampik asal-usulnya sendiri sebagai bagian dari “sesuatu yang hilang”. Soalnya mungkin saja sastra Latin adalah hasil proses akulturatif juga: sebuah locus genus yang berawal entah dari mana kemudian terbawa angin hingga ke jalan menuju Roma, yang dapat dijejaki pembentukannya sejauh sejak huruf hiroglif pertama ditemukan.
Lalu jejak rasio sastra merentang jalinan the-missing-link panjang sampai kepada khasanah Melayu, yang tidak lebih dari pengembangan salah satu cabang sinologi dengan unsur kental hinduisme karena menurut sejarah (lagi-lagi!) nenek-moyang kita berasal dari India Belakang atau Yunan --salah satu provinsi miskin di Cina sekarang–yang kemudian berinteraksi dengan kaum pedagang Gujarat (karena itulah maka kita dikenalkan oleh kaum orientalis sebagai Hindia). Atau estimatika lain: kita dan dan sastra kita sebenarnya merupakan bagian pemberontakan terstruktur yang bercampur-baur dalam proses kebanalan, sehingga menjadi genre berciri khas timur yang eksotis dan penuh dengan misteri.
Sastra dalam masyarakatnya, memang harus hidup tanpa menengahi atau menyingkirkan bidang-bidang kehidupan lainnya, terkecuali politik dan kekuasaan yang berlangsung serba-salah atau berat-sebelah sebab kesusastraan ada (hadir) bukan untuk mengada-ada, melainkan hanya sekadar penanda ingatan kolektif zaman sebelum masyarakat di tempat mana sastra itu tumbuh, terjerumus ke dalam situasi dead man society atau mati suri teladan (Fajrullah, 2004).
Karya-karya para empu di zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di nusantara klasik misalnya, barangkali tidak lebih bernilai susastra daripada karya-karya anonim yang memasyarakat di luar tembok istana. Bukankah belum tentu kitab Kalatida lebih baik secara sastrawi dibandingkan dengan kitab-kitab pasaran tanpa nama terbuat dari daun lontar tua yang dibaca luas rakyat kebanyakan? Atau syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji mungkin tidak lebih cemerlang nilai sastranya ketimbang Zubaidah Sitti dari empu Al Lintani, misalnya?
Seperti banyak juga dikenali ahli sastra yang tidak berambisi menjadikan dirinya termasyhur sebagai sastrawan. Seperti halnya banyak dijumpai ilmu tafsir terhadap naskah-naskah kesusastraan yang kemudian akhirnya mengetengahkan karya sastra ditafsirkan bukan sebagai berhala. ***

Dari Mana Datangnya Sastra



Oleh M ARPAN RACHMAN

...seekor ikan telah berkepak terbang
air itu masih sekeras batu...


Apakah sastra itu seperti ini?
Sultan Ahmad Najamuddin, setelah penyerangannya tidak berhasil, melarikan diri ke daerah pedalaman menggabungkan diri dengan kaum pemberontak di daerah Ogan. Akan tetapi karena ditinggalkan pengikut-pengikutnya, pada bulan Agustus 1825 Sultan menyerahkan diri pada pasukan Belanda.
Atau, inikah sastra?
Politikus tua itu tumbang dari podium lantaran teriakan yel-yel antipati yang dimulai dari suara anaknya sendiri. Di ujung hidupnya, orator ulung itu mati sengsara di jalanan sebagai orang tak bernama.
Mungkin saja sastra yang begini:
Seseorang (entah lelaki atau perempuan) telah gagal dalam seratus wawancara ketika hendak menerima pekerjaan. Ia menghadapi wajah lembut yang itu-itu juga, berkemeja putih polos serupa, di belakang seratus meja yang sama. Sampai wawancara yang sekian kalinya berakhir mengerikan. Pewawancara tewas terkapar di lantai, sebilah pisau tertancap di tenggorokan. Pencari kerja itu pelaku penusukan. Tapi dia akhirnya mendapati sebuah lowongan terbuka untuknya.
Jadi, bagaimana mengenali ciri-ciri khas sastra?
***
Merujuk kamus, sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab yang bukan bahasa sehari-hari. Agaknya definisi ini patut dipertanyakan.
Camkan sekali lagi ketiga contoh ilustrasi di atas. Bahasanya diantarkan melalui cara-cara umumnya seperti orang memakai bahasa Indonesia. Yang tidak mungkin disalahkan, tempatnya (ilustrasi itu) ada di kitabnya masing-masing.
Secara generis atau sederhananya, sastra tidak mungkin secara mudah dibedakan kemudian dipisahkan dengan bahasa sehari-hari. Bila sastra tertera adanya hanya di dalam kitab-kitab yang dituliskan dengan cara lain dari bahasa sehari-hari, apakah demikian cukup (syaratnya) disebut kesusastraan?
Lalu, apa lainnya dan mana yang sama? Siapa sastrawan, siapa bukan?
Di luar kitab, sastra ternyata pernah juga mengenal tradisi lisan. Definisi kamus itu setengah pengertiannya gugur dalam perspektif ini.
***
Ada seorang penyair menilai sebuah puisi. Dikiranya puisi merupakan bidang pengetahuan yang dia kuasai secara ahli. Sebuah puisi karya siswi Sekolah Menengah Atas dikomentarinya tepat pada larik-larik penciptaan.
Mengabaikan kenyataan bahwa larik-larik puisi yang telah dituliskan sebenarnya terdapat bulat-bulat dalam ruang otonom penulisan yang tidak mungkin lagi diganggu gugat orang lain, termasuk kritikus bahkan juga penulisnya sendiri sekalipun!
Lantaran “musuh besar puisi adalah salah cetak,” kata penyair Goenawan Mohamad. Praktik ralat seperti jadi tabu untuk puisi. Proses kreatif menulis puisi agak sama sebangun dengan praktik meluaskan dan meleluasakan imajinasi. Lebih lanjut Goenawan menyebut “menghilangkan puisi (=melenyapkan cara-cara berkreasi) berarti menghina kecerdasan manusia.”
W.S. Rendra mencemooh para penyair romantis yang menulis puisi tentang klangenan, cinta-cintaan, awan-awan, dan rembulan. Tapi dia tidak pernah '“memaksa' Goenawan Mohamad harus menulis dengan gaya seperti penyair Si Burung Merak. Rendra tahu diri tidak mungkin mengoreksi ulang cantuman diksi pada larik-larik puisi milik penyair lain. Walaupun dia bersumpah; “Sampai mati pun saya tidak akan menulis puisi seperti itu!”
***
Siswi SMA di Prabumulih itu entah masih menulis puisi atau sekarang telah patah arang. Tulisan ini ditujukan demi menguatkan semangatnya untuk tidak berhenti menulis hanya lantaran dikritik “komentar miring” yang memperdayakan secara paradigmatik, padahal proses kreatif baru saja dimulainya.
Puisi, dalam sejarahnya, belum pernah menyebabkan kebodohan. Larik puisi yang tertera di awal tulisan ini pun akan mudah dimengerti bila siswa-siswi SMA belum lupa dengan pelajaran biologi dan ilmu fisika.
Sastra barangkali juga sejenis cara 'menghaluskan akal' yang harus dilampaui seseorang dengan cara banyak membaca dan memahami disiplin ilmu pengetahuan lain sebagai penanda penting kecerdasan manusia. Tapi memotong Chairil Anwar, yang tidak masuk akal dan bukan perasa, boleh ikut ambil bagian.
***
Catatan: contoh ilustrasi dikutip dan disarikan
1) Staatkundig Overzicht van Ned Indie 1837 ANRI-1971, halaman 25.
2) Perjalanan ke Z oleh Shapiai Mohd Ramly, 1992.
3) The Golden Bough: Salman Rusdhie dalam Granta 7/1983.