Selasa, 17 Juni 2008

Musi Terus Mengalir


Oleh M ARPAN RACHMAN
Terbitnya Majalah Kebudayaan Musi Terus Mengalir oleh Komunitas Kalidoni menjadi kabar menggembirakan. Terlepas dari mana sumber dananya, wadah pengembangan kreatifitas penulis dan seniman itu merupakan ruang besar bagi tampilnya nama-nama baru di jagad tulis Palembang.
Semangat yang ingin ditularkan dari terbitnya majalah kebudayaan yang secara serius melakukan studi kritis adalah terbukanya kesempatan dan kemungkinan yang baru, mendalam, jauh, dan lain. Efeknya, akan berkembang menjadi telaah yang teliti tentang kebudayaan yang di dalamnya sarat bergulatnya muatan lokal. Soalnya budaya sendiri secara definitif lebih menginginkan kemampuan analisa dan evaluasi dari para pengupasnya, dan bukan sekaear penganut paham fanatiknya belaka. Dalam hal ini, kemudian, majalah kebudayaan mestinya sudah ada sejak negeri ini dipetakan sebagai provinsi di belah selatan Pulau Perca.
***

Selama ini, secara nasional, sudah tersohor beberapa jurnal dan majalah semi-populer yang rutin mengupas aspek budaya seperti Horison, Kalam, dan Prisma --yang sudah meninggal dunia.
Horison, terbitan Yayasan Indonesia, berupa majalah sastra satu-satunya di tanah air setelah Sastra dan Kisah tidak terbit lagi. Di majalah itu, beberapa waktu lalu, terjadi kisruh perseteruan sengit antara blok Goenawan Mohamad versus Taufiq Ismail, yang akhirnya dimenangi Taufiq dengan cara menyingkirkan nama Goenawan dari catatan sejarah Horison dan mendudukkan nama istrinya, Ati Ismail, sebagai Sekretaris Redaksi, hingga sekarang.
Sementara Jurnal Kalam merupakan eksistensi sebuah mercu suar independen ditopang kesolidan Komunitas Utan Kayu, yang dimotori Goenawan Mohamad. Jurnal ini lebih pekat dengan nuansa olah-pikir alternatif dari berbagai ahli lintas-budaya maupun lintas-negara dengan senjata utama bertumpu pada kekuatan seni rupa.
Tersebutlah beberapa nama lagi jurnal budaya lain seperti yang pernah terbit di Depok, Surabaya, Denpasar, Padang, Tegal, Yogyakarta, dan Bandung. Jurnal-jurnal kebudayaan versi lokal tersebut pada perjalanannya tetap setia hidup seperti bonsai (bukan kerdil) dan mengenyahkan ambisi untuk jadi besar. Sayang sekali, napas terbitan berkala jurnal-jurnal model swadaya itu banyak yang tak panjang.
Ada yang mati muda tanpa meninggalkan berkas-berkas olah-pikir yang penting. Ada juga yang mati suri, tapi meninggalkan warisan ide berlian. Banyak yang menyisakan pekerjaan rumah untuk dieksplorasi lagi idenya lewat kajian yang lebih ilmiah.
Jurnal semacam itu, di sisi lain, mungkin memiliki kelemahan, yakni pengelolanya tidak dibekali napas panjang dan bersandar kepada ilmu siasat ala kadarnya. Mereka hanya bermodal semangat hebat, yang kelirunya malah sering terlalu menggebu-gebu hingga melebihi modal napas, siasat, dan ilmu pengetahuan mereka sendiri.
Contohnya, aliran ide Revitalisasi Sastra Pedalaman pada dekade 1990-an dari Sosiawan Leak asal Tegal, yang menempuh jalan buntu kegagalan akibat ditinggalkan para penggemar dan pengikutnya sendiri. Contoh sejenis itu di tanah air ini dapat diukur dalam deret hitung yang panjang.
***

Wadah penampil kreasi gagasan seni-budaya dalam skala lokal, secara jujur atau tidak jujur --haruslah diakui jarang yang mampu menjadi penyuluh strategi kemanusiaan yang logis dan mudah diikuti oleh seluruh seniman. Idealnya, secara manusiawi, memang harus ada pihak yang menolak, lantaran kalau ada buah yang jatuh dari sebatang pohon kebudayaan lalu seluruh seniman memungutnya tanpa mau berbeda ideologi lagi, maka terjadilah seperti awal pengetahuan bertemu dengan ujungnya. Dan dunia ini selesai, semua masuk surga. Akhirnya yang disuarakan cuma spiritual model omong kosong gaib, yang justru tidak diterima bumi.
Majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir diharapkan menjamin akurasi tak meleset untuk (meminjam istilah religius) menentukan arah kiblat bagi para seniman demi mengukuhkan ciri identitas khas mereka yang jadi bagian komunitas sosial. Tanpa pikir panjang, Musi Terus Mengalir merupakan destinasi kebaikan bagi seniman Sumsel. Dalilnya sesuai lirik lagu populer duet Broery Pesolima dan Dewi Yull, “Jangan ada dusta di antara kitaaa...” Kejujuran para pengusung aliran kebudayaan yang menyandingkan gagasan lewat majalah itu, hendaknya dikuatkan oleh faktor vital untuk melawan ketidakjujuran aliran kehidupan lain.
Edisi perdana majalah dari Komunitas Kalidoni menampilkan kuatnya kekayaan khasanah intelektual yang terpantul dari nuansa kerja serius yang tajam seperti belati Palembang dan begitu dalam seperti lubuk Sungai Musi. Misalnya, apa yang tersurat dalam kajian Maslow ternyata dapat dipikir-pikir panjang secara berulang-ulang, lalu disajikan sebagai menu istimewa yang jadi kontemplasi cerdas tentang ikan-ikan Sungai Musi dalam pinggan esai Taufik Wijaya bin Kemas Muhammad Bachtiar.
Artikelnya memberi pencerahan berharga kepada pembaca supaya melihat apa yang tersirat. Berikutnya, ikon-ikon grafis manis karya Erwan Suryanegara bertebaran di sekujur halaman majalah, membentuk semacam keping-keping puzzle yang mengagumkan bagi para pecinta teka-teki anagram dalam semangat lukis-sketsa.
***
Musi Terus Mengalir mungkin ide awalnya digagas di siang hari beberapa bulan purnama puasa silam, saat mengobrol santai di lobi Hotel Quality Daira Palembang antara aktivis Nia Sjarifuddin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) dengan T Wijaya bin M Bachtiar dari Kalidoni. Ketika itu, mereka mengobrol antusias.
Secara patuh dan menyimaknya lekat-lekat, saya hanya ikuti sebagai pendengar setia sembari menahan diri agar tidak berdosa lantaran sedang menjalani ibadah Ramadhan. Kini, ide itu jadi kenyataan, betapa senangnya. Tapi di edisi kedua, tak tercantum lagi ANBTI, barangkali kolaborasi itu putus setelah edisi pertama diterbitkan.
Terbitnya majalah, sama persis dengan timbulnya matahari pagi. Di sana ada kepastian, bahwa keluhuran sebatang hari pasti terjaga. Ia berpotensi kuat menyetrum olah-pikir yang gilirannya memacu olah-tindak demi mematangkan strategi kebudayaan. Misalnya, demi memperjuangkan nasib para seniman atas nama prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diratifikasi Indonesia dan berlaku juga di Sumatera dan kota pempek, Palembang.
Kewibawaan disandang kebudayaan. Apalagi bila ditunjang ilmu pengetahuan yang tersebar luas pada khalayak.
Artikel, esai, tinjauan, kajian, dan karya yang mengisi budaya-tulis hendaknya memenuhi syarat layaknya sebuah proses penelitian di laboratorium. Kaum seniman tidak usah takut mencari inspirasi seperti memegang tabung reaksi, garpu tala, dan bejana, tanpa berpikir bahwa sesuatu akan meledak di luar sana agar napas sungai Musi (terus) Mengalir panjang.
***
Dari namanya, diketahui, majalah ini mengambil nama sungai terbesar di Pulau Sumatera. Bila surut, air di Sungai Musi mengalir ke hilir, ke arah muara Sungsang. Saat pasang, airnya menjauh ke hulu, ke arah Ulu Musi, tempat mata air Sungai Musi berada di kaki Gunung Dempo. Pasang bertanda air dari laut di Selat Bangka memasuki Muara Sungsang, dan segera melimpahi sungai dengan debit air yang ruah. Surut berkata air laut di Selat Bangka susut dan meminta tambahan debit dari Sungai Musi. Pasang-surutnya majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir menghiasi dinamika kebudayaan di Negeri Batang Hari Sembilan.
***

1 komentar:

Kakilangit mengatakan...

salam
Bung M Arpan Rachman, sori baru kunjungi blog anda. Karya Anda Musi Terus Mengalir rencana saya muat pada edisi minggu 7 September 2008. Karya yang termuat di sumeks secara otomatis akan diarsipkan dalam TINTA EMAS POS Net (www.teje21.wordpress.com) atau Kaki Langit (www.tejeireng.blogspot.com).