Selasa, 17 Juni 2008

Dari Mana Datangnya Sastra



Oleh M ARPAN RACHMAN

...seekor ikan telah berkepak terbang
air itu masih sekeras batu...


Apakah sastra itu seperti ini?
Sultan Ahmad Najamuddin, setelah penyerangannya tidak berhasil, melarikan diri ke daerah pedalaman menggabungkan diri dengan kaum pemberontak di daerah Ogan. Akan tetapi karena ditinggalkan pengikut-pengikutnya, pada bulan Agustus 1825 Sultan menyerahkan diri pada pasukan Belanda.
Atau, inikah sastra?
Politikus tua itu tumbang dari podium lantaran teriakan yel-yel antipati yang dimulai dari suara anaknya sendiri. Di ujung hidupnya, orator ulung itu mati sengsara di jalanan sebagai orang tak bernama.
Mungkin saja sastra yang begini:
Seseorang (entah lelaki atau perempuan) telah gagal dalam seratus wawancara ketika hendak menerima pekerjaan. Ia menghadapi wajah lembut yang itu-itu juga, berkemeja putih polos serupa, di belakang seratus meja yang sama. Sampai wawancara yang sekian kalinya berakhir mengerikan. Pewawancara tewas terkapar di lantai, sebilah pisau tertancap di tenggorokan. Pencari kerja itu pelaku penusukan. Tapi dia akhirnya mendapati sebuah lowongan terbuka untuknya.
Jadi, bagaimana mengenali ciri-ciri khas sastra?
***
Merujuk kamus, sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab yang bukan bahasa sehari-hari. Agaknya definisi ini patut dipertanyakan.
Camkan sekali lagi ketiga contoh ilustrasi di atas. Bahasanya diantarkan melalui cara-cara umumnya seperti orang memakai bahasa Indonesia. Yang tidak mungkin disalahkan, tempatnya (ilustrasi itu) ada di kitabnya masing-masing.
Secara generis atau sederhananya, sastra tidak mungkin secara mudah dibedakan kemudian dipisahkan dengan bahasa sehari-hari. Bila sastra tertera adanya hanya di dalam kitab-kitab yang dituliskan dengan cara lain dari bahasa sehari-hari, apakah demikian cukup (syaratnya) disebut kesusastraan?
Lalu, apa lainnya dan mana yang sama? Siapa sastrawan, siapa bukan?
Di luar kitab, sastra ternyata pernah juga mengenal tradisi lisan. Definisi kamus itu setengah pengertiannya gugur dalam perspektif ini.
***
Ada seorang penyair menilai sebuah puisi. Dikiranya puisi merupakan bidang pengetahuan yang dia kuasai secara ahli. Sebuah puisi karya siswi Sekolah Menengah Atas dikomentarinya tepat pada larik-larik penciptaan.
Mengabaikan kenyataan bahwa larik-larik puisi yang telah dituliskan sebenarnya terdapat bulat-bulat dalam ruang otonom penulisan yang tidak mungkin lagi diganggu gugat orang lain, termasuk kritikus bahkan juga penulisnya sendiri sekalipun!
Lantaran “musuh besar puisi adalah salah cetak,” kata penyair Goenawan Mohamad. Praktik ralat seperti jadi tabu untuk puisi. Proses kreatif menulis puisi agak sama sebangun dengan praktik meluaskan dan meleluasakan imajinasi. Lebih lanjut Goenawan menyebut “menghilangkan puisi (=melenyapkan cara-cara berkreasi) berarti menghina kecerdasan manusia.”
W.S. Rendra mencemooh para penyair romantis yang menulis puisi tentang klangenan, cinta-cintaan, awan-awan, dan rembulan. Tapi dia tidak pernah '“memaksa' Goenawan Mohamad harus menulis dengan gaya seperti penyair Si Burung Merak. Rendra tahu diri tidak mungkin mengoreksi ulang cantuman diksi pada larik-larik puisi milik penyair lain. Walaupun dia bersumpah; “Sampai mati pun saya tidak akan menulis puisi seperti itu!”
***
Siswi SMA di Prabumulih itu entah masih menulis puisi atau sekarang telah patah arang. Tulisan ini ditujukan demi menguatkan semangatnya untuk tidak berhenti menulis hanya lantaran dikritik “komentar miring” yang memperdayakan secara paradigmatik, padahal proses kreatif baru saja dimulainya.
Puisi, dalam sejarahnya, belum pernah menyebabkan kebodohan. Larik puisi yang tertera di awal tulisan ini pun akan mudah dimengerti bila siswa-siswi SMA belum lupa dengan pelajaran biologi dan ilmu fisika.
Sastra barangkali juga sejenis cara 'menghaluskan akal' yang harus dilampaui seseorang dengan cara banyak membaca dan memahami disiplin ilmu pengetahuan lain sebagai penanda penting kecerdasan manusia. Tapi memotong Chairil Anwar, yang tidak masuk akal dan bukan perasa, boleh ikut ambil bagian.
***
Catatan: contoh ilustrasi dikutip dan disarikan
1) Staatkundig Overzicht van Ned Indie 1837 ANRI-1971, halaman 25.
2) Perjalanan ke Z oleh Shapiai Mohd Ramly, 1992.
3) The Golden Bough: Salman Rusdhie dalam Granta 7/1983.

Tidak ada komentar: