Kamis, 18 September 2008

Kritik

Budaya Bertuah

(Tanggapan atas JRK)

PALING tidak tiga kesimpulan, saya tangkap, dari membaca artikel Jajang R Kawentar (selanjutnya: JRK) berjudul Syamsu Indra Usman dalam Konstelasi Budaya Empat Lawang (Sumeks, 7/9/2008). Secara acak pola kalimatnya banyak yang buruk, premisnya tanpa dasar, argumennya penuh curiga. Di sana-sini, ketiga simpul itu, bahkan cenderung saling mematahkan antara satu sama lain. Baiklah, kini diuraikan sebagian isi artikel yang jadi fokus apa sebenarnya kehendak JRK melakukan pembodohan intelektual terhadap publik pembaca rubrik Horison di Harian Sumeks kita ini.

Pada notasi kesatu dalam paragraf pertama, tepatnya kalimat awal artikelnya, tertulis “…orang ramai-ramai meninggalkan kebudayaan daerahnya dan mengagung-agungkan kebudayaan baru yang hampir tidak memiliki kepribadian…”. Tapi tak sepucuk kalimat pun hingga ke ujung tulisannya, JRK menjelaskan kepada pembaca siapa “orang ramai” yang dia katakan? Apakah mereka adalah orang-orang Lintang selain Syamsu (maka, kalau begitu mungkin termasuk juga, misalnya, saya dan Alex Noerdin)? Sementara Syamsu sendiri jadi tokoh yang diangkat sebagai obyek tulisan JRK. Namun benarkah Syamsu penggagas utama (berarti orang pertama yang punya ide) pembentukan Kabupaten Empat Lawang?

Lalu, siapa saja “orang ramai” yang dimintai jawabnya oleh JRK? Representatifkah jawaban sampelnya mewakili urusan antara “orang ramai-ramai” dengan “kebudayaan daerah” dan “kebudayaan baru”, sehingga kata “meninggalkan” serta “mengagung-agungkan” pantas dihubungkan sebagai paradoks? Atau jangan-jangan dia hanya menduga-duga sebuah alasan menggelikan lewat klaim yang penuh curiga tentang situasi sekitar yang sekadar dia cerna (bukan cermati) secara sambil lalu….

Di notasi yang sama itu pula, JRK langsung mengajak pembaca untuk berpihak kepada penulis (yaitu JRK sendiri) dengan memasang kata ganti orang pertama jamak “kita” (yang harfiahnya berarti “aku dan kau”). Pemasangan itu tampaknya dilakukan untuk menegaskan bahwa konteksnya telah disepakati “kita” itu. “Kita” di situ jadi sebuah trik halus untuk memasukkan paham kepada pembaca tentang suatu dalili yang tidak terbantahkan. Bagaimana kalau kita tidak bersepakat dengan JRK? Tentu saja seperti yang saya lakukan adalah penolakan, maka akan muncul setidaknya tiga pertanyaan.

Muncul persoalan di benak ini: siapakah intelektual atau lembaga ilmiah manakah yang memberi data kepada JRK? Sampai dia berani menyatakan “…Bangsa kita termasuk di Sumatra Selatan ini, sudah merasa malu kalau mengetengahkan kebudayaan daerahnya,… bahasa daerahnya… Hampir tidak ada lagi yang menyukai kesenian daerahnya, bahasa daerahnya, apalagi mempelajarinya…”

Saya ingin sekali mengajak JRK meluaskan wawasan. Dalam suatu perbincangan dengan Drs B Trisman M.Hum saat saya menyambangi di ruang kerjanya, Kepala Balai Bahasa Sumsel itu memberi komentar yang tenang atas kekhawatiran tentang ancaman kepunahan bahasa daerah. Bang Tris menyatakan sejauh penelitian lembaganya, di Sumsel belum ditemukan bahaya krusial yang berpotensi memusnahkan bahasa daerah.

Merujuk komentar tersebut, maka validasi data dalam premis JRK perlu diragukan demi kebenaran dan atas nama ilmu pengetahuan. Walaupun dalam proses klarifikasi nanti, JRK bolehlah kita seret ke depan sidang di Balai Bahasa, tetapi saya tidak akan menyarankan hal itu lantaran meski ditengarai melakukan kekeliruan, dia belum cukup bijak disebut telah berbuat kejahatan yang fatal.

Melihat keterbatasannya, JRK hanya perlu diberitahu bahwa “…kita di sini di Sumsel tidak bingung memilah-milih yang mana sesungguhnya kebudayaan milik kita…” seperti yang ungkapkan sebaliknya. Kebudayaan yang ada, apalagi telah mengakar, masih diterima luas oleh suku-sukubangsa yang menghidupkan kejayaan Sriwijaya, Kerajaan Islam, Kesultanan Palembang Darussalam, dan Sumsel kini.

Membantah demagogi JRK, dari dulu kala Sumsel bukan merupakan daerah transit berbagai suku bangsa, melainkan tujuan bagi orang-orang yang hendak belajar, berniaga, mencari minyak, dan memimpikan kehidupan yang lebih baik sejak para perantau asal Yunan sampai transmigran dari daerah lain di Nusantara. Konseukensi sebagai kawasan terbuka yang diketahui berlimpah kekayaan itulah, membuat Sumsel dikenal kental dengan nuansa percampuran budaya.

Mungkin JRK belum pernah melihat bila seorang pendatang singgah ke suatu tempat di Sumsel, tuan rumah akan menyuguhi sekapur sirih sebagai tanda bahwa orang itu memasuki kawasan budaya yang baik berdasarkan tuturkata maupun perilaku yang amat terjunjung tinggi, baik bagi si tuan rumah ataupun kepada si pendatang. Itulah salah satu contoh matra sosial yang diabadikan turun-temurun dari generasi-bergenerasi di negeri ini sebagai sebuah tuah kebudayaan. Barangkali JRK juga luput mengingat bahwa orang Sumsel masih banyak yang suka makan pakai tangan sambil duduk bersila, walau ada saja yang mungkin lupa memulai dengan baca bismillah.

Sedangkan notasi kedua dalam paragraf pertama, JRK menulis “…kebudayaan global atau budaya baru keluar dari sistem budaya yang berkepribadian Nusantara karena mengumbar berbagai gaya hidup dan prduk yang ditawarkan melalui barang-barang, mulai dari barang kelontongan, kosmetik, hingga kebutuhan hidup sebagai produk hiburan…”.

Ada tendens yang mengesankan konsep kebudayaan inklusif sedang disebarkan JRK. Padahal ranah budaya di mana pun tak pernah lepas dari pengaruh unsur-unsur luarnya seperti halnya kebudayaan Nusantara dipengaruhi unsur-unsur asing seperti Arab, India, dan tiongkok Cina. JRK lupa dengan pendapat sederhana bahwa “selama ada kultur, di sana ada kemungkinan akulturasi” sebab budaya bukan eksklusivisme yang berada dalam sebuah ruang kaca steril seperti kotak pandora.

Dulu, pada mulanya, kebudayaan pun ditawarkan melalui pertukaran barang-barang dalam perdagangan antarsaudagar di pelbagai belahan dunia. Sementara produk berupa barang-barang kelontongan dan kosmetik, mungkin saja sudah dipakai sejak manusia purba pergi meninggalkan goa, lalu beralih jadi komunitas yang selanjutnya mengandalkan cara bercocok tanam dalam kehidupan mereka.

Alasan JRK, secara rata-rata air, bernuansa irrasional. Premisnya banyak berupa “hasil sesat-pikir” (meminjam ungkapan Tarech Rasyid) dan mencerminkan hemisfer yang kacau dalam otak orang yang dengan ceroboh kemudian menuliskannya entah dengan maksud tersembunyi jenis apa.

Saya tidak punya lagi pertanyaan untuk JRK. Yang ingin saya tanyakan: Mengapa Syamsu Indra Usman mau ditulis sebagai obyek dengan cara seperti itu? Semoga kita jadi manusia yang jauh dari kelaliman dalam bulan suci Ramadhan ini.*

Batukarang, 11908

2 komentar:

ERWAN SURYANEGARA mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
ERWAN SURYANEGARA mengatakan...

Guk..guk..guk, kaiiing! Begitulah kalau keturunan Dayang Sumbi dan Sangkuriang dari tanah Parahyangan. JRK harus belajar dulu bagaimana berenang di bumi Batanghari Sembilan